Ini sharing cerita dari teman saya. Beberapa kali dia berhubungan dengan bank untuk urusan pinjaman modal, investasi atau pembiayaan. Hampir semuanya tidak berbuah kesepakatan karena satu hal: ketiadaan agunan. Nasib yang hampir sama pernah saya alami juga.
Sesuatu yang telah saya ketahui sejak lama: bank hanya akan meminjami payung saat cuaca cerah, tapi meminta kembali payungnya saat cuaca hujan. Jika kita tidak butuh uang, justru bank akan berlomba menawari kita uang. Misalnya kartu kredit. Cuma fotokopi KTP doang tanpa mengisi formulir apapun, kartu bisa dikirim beberapa hari kemudian. Tapi saat kita butuh banget, mereka balapan menutup pintunya lantaran ketakutan pinjamannya takkan kembali.
Dari asal muasalnya, agunan berfungsi membuat bank lebih percaya pada yang meminjam. Jika ada masalah, agunannya akan dilelang untuk menyelamatkan pinjaman. Tapi jika kita percaya atau dipercaya, maka garansi sering tidak diperlukan. Misalnya pinjam meminjam personal dengan teman dekat atau saudara sekeluarga.
Sayangnya, urusan percaya tidak percaya ini harus berhenti pada hal-hal yang sifatnya fisik belaka. Padahal kepercayaan itu hal yang abstrak. Saya berandai-andai jika besok-besok giliran saya ditanya saat akan mengajukan pinjaman. Kira-kira dialognya seperti ini:
Bank: Mas, agunannya apa untuk pinjaman ini?
Saya: Agunan fisik saya tidak punya. Tapi saya punya Tuhan yang menjamin bahwa saya tidak akan menyalahgunakan pinjaman ini. Tuhan saya itu pemilik alam semesta, termasuk semua kekayaan bank ini.
Saya kok meyakini bahwa bank tidak akan pernah mengucurkan kredit pada orang yang penjaminnya adalah Tuhan, meskipun direktur banknya orang Islam. Tuhan tidak laku dalam transaksi bisnis.
Bank - karena sifatnya yang kapitalis - sangat wajar jika tidak percaya pada Tuhan. Atau minimal, tidak percaya pada kata-kata saya dan menganggapnya aneh. Bank tidak akan memberi pinjaman pada orang-orang aneh. Dan celakanya, mengikutsertakan Tuhan dalam membimbing langkah kita untuk membangun bisnis yang diridhoi-Nya - bagi sebagian besar orang - adalah hal yang aneh.
Seperti kata Nabi: kelak ada suatu jaman dimana mempertahankan kebenaran Islam itu ibarat menggenggam bara api. Jika digenggam tangan terasa sangat panas bahkan terbakar, jika dilepaskan maka lepaslah Islam sebagai pedoman hidup.
Saya kira jaman itu sudah tiba, sudah kita alami sehari-hari. Kita semestinya bersyukur jika bank tidak meminjami modal, karena kita dianggap aneh. Sungguh berbahaya sebenarnya buat bank dan mereka yang tidak dianggap aneh, jangan-jangan bara api itu sudah dibuang entah dimana...
Sesuatu yang telah saya ketahui sejak lama: bank hanya akan meminjami payung saat cuaca cerah, tapi meminta kembali payungnya saat cuaca hujan. Jika kita tidak butuh uang, justru bank akan berlomba menawari kita uang. Misalnya kartu kredit. Cuma fotokopi KTP doang tanpa mengisi formulir apapun, kartu bisa dikirim beberapa hari kemudian. Tapi saat kita butuh banget, mereka balapan menutup pintunya lantaran ketakutan pinjamannya takkan kembali.
Dari asal muasalnya, agunan berfungsi membuat bank lebih percaya pada yang meminjam. Jika ada masalah, agunannya akan dilelang untuk menyelamatkan pinjaman. Tapi jika kita percaya atau dipercaya, maka garansi sering tidak diperlukan. Misalnya pinjam meminjam personal dengan teman dekat atau saudara sekeluarga.
Sayangnya, urusan percaya tidak percaya ini harus berhenti pada hal-hal yang sifatnya fisik belaka. Padahal kepercayaan itu hal yang abstrak. Saya berandai-andai jika besok-besok giliran saya ditanya saat akan mengajukan pinjaman. Kira-kira dialognya seperti ini:
Bank: Mas, agunannya apa untuk pinjaman ini?
Saya: Agunan fisik saya tidak punya. Tapi saya punya Tuhan yang menjamin bahwa saya tidak akan menyalahgunakan pinjaman ini. Tuhan saya itu pemilik alam semesta, termasuk semua kekayaan bank ini.
Saya kok meyakini bahwa bank tidak akan pernah mengucurkan kredit pada orang yang penjaminnya adalah Tuhan, meskipun direktur banknya orang Islam. Tuhan tidak laku dalam transaksi bisnis.
Bank - karena sifatnya yang kapitalis - sangat wajar jika tidak percaya pada Tuhan. Atau minimal, tidak percaya pada kata-kata saya dan menganggapnya aneh. Bank tidak akan memberi pinjaman pada orang-orang aneh. Dan celakanya, mengikutsertakan Tuhan dalam membimbing langkah kita untuk membangun bisnis yang diridhoi-Nya - bagi sebagian besar orang - adalah hal yang aneh.
Seperti kata Nabi: kelak ada suatu jaman dimana mempertahankan kebenaran Islam itu ibarat menggenggam bara api. Jika digenggam tangan terasa sangat panas bahkan terbakar, jika dilepaskan maka lepaslah Islam sebagai pedoman hidup.
Saya kira jaman itu sudah tiba, sudah kita alami sehari-hari. Kita semestinya bersyukur jika bank tidak meminjami modal, karena kita dianggap aneh. Sungguh berbahaya sebenarnya buat bank dan mereka yang tidak dianggap aneh, jangan-jangan bara api itu sudah dibuang entah dimana...
Comments
Wajar saja jika Tuhan tidak laku dalam bertransaksi bisnis, repot nagihnya nanti, mas :)