Saat itu jam 16.00 lalu lintas di jalan menuju Godean macet, di tengah kemacetan ada 2 mobil berhenti di tengah jalan posisinya agak meyamping. Empat orang laki-laki berperawakan besar turun dari mobil yang di depan, tanpa ba bi bu memukuli sopir yang ada di dalam mobil belakangnya. Pengemudi naas itu tidak berdaya dan hanya bertahan mukanya ditonjokin, terlihat darah mulai mengucur. Tapi empat orang pengeroyoknya tak peduli dan terus memukul dari jendela yang terbuka, lalu menggedor kap dan atap mobil. Beringas sekali! Mungkin tadi ada serempetan atau tabrakan kecil, saya kurang tahu. Lalu seorang perempuan keluar dari mobil yang di belakang dan mencoba menghentikan pemukulan, tapi justru perlakuan kasar diterimanya. Dia didorong tepat di muka oleh seorang laki-laki dengan sangat kasar sambil mengeluarkan sumpah serapah.
Setelah puas menghajar, mereka berempatpun masuk mobil lagi dan dengan kasar menstarter mobilnya keluar dari kerumunan. Tinggal pengemudi mobil babak belur berdarah dan perempuan (istrinya?) menangis keras-keras. Barulah orang-orang mulai berani mendekat, meminggirkan mobil dan memberikan pertolongan.
Dan di situlah saya: terpaku tak berbuat apa-apa. Ada lebih kurang dua puluhan orang berada di sekitar TKP dan hanya memandang pengeroyokan itu. Semua orang yang saya lihat, semua tidak berbuat apa-apa. Gejala apa ini? Ya Allah, saya merasa berada di Jakarta bukan di Jogja...
Entahlah, saya sendiri merasa begitu bersalah sampai berkeringat melihat kekejaman di depan mata saya, saya hanya terdiam. Rasanya pengecut sekali. Seharusnya saya turun dari motor dan melerai pengeroyokan itu, meskipun saya tak tahu siapa yang salah di antara mereka. Tapi toh itu tak penting karena faktanya pengeroyokan itu terlalu kejam jika disaksikan lebih dari dua puluh pasang mata di tengah kemacetan jalan. Toh semuanya bisa dibicarakan baik-baik di pinggir jalan.
Dan, ya: saya memang penakut. Saya merasa takut mereka akan mengeroyok saya, karena saya sok ikut campur. Dan memang kecil kemungkinan menang lawan tim preman itu. Tapi di dalam hati saya yang paling dalam, saya merasa hancur. Saya merasa bukan diri saya lagi. Saya menyesal setengah mati, saya malu pada sang korban. Saya malu pada perempuan yang berani melawan 4 laki-laki pengeroyok (mereka berempat lebih pantas disebut betina). Saya merasa bukan manusia utuh lagi: jika saya yang dipukuli dan begitu banyak orang berkerumun tanpa satupun menolong, betapa remuk hati saya. Sakitnya pasti melebihi remuknya wajah saya.
Ya Allah, ampunilah hamba-Mu ini. Ampunilah ketakutan hamba-Mu ini... hamba tak sanggup berkata-kata, hamba tak sanggup bersuara...
Setelah puas menghajar, mereka berempatpun masuk mobil lagi dan dengan kasar menstarter mobilnya keluar dari kerumunan. Tinggal pengemudi mobil babak belur berdarah dan perempuan (istrinya?) menangis keras-keras. Barulah orang-orang mulai berani mendekat, meminggirkan mobil dan memberikan pertolongan.
Dan di situlah saya: terpaku tak berbuat apa-apa. Ada lebih kurang dua puluhan orang berada di sekitar TKP dan hanya memandang pengeroyokan itu. Semua orang yang saya lihat, semua tidak berbuat apa-apa. Gejala apa ini? Ya Allah, saya merasa berada di Jakarta bukan di Jogja...
Entahlah, saya sendiri merasa begitu bersalah sampai berkeringat melihat kekejaman di depan mata saya, saya hanya terdiam. Rasanya pengecut sekali. Seharusnya saya turun dari motor dan melerai pengeroyokan itu, meskipun saya tak tahu siapa yang salah di antara mereka. Tapi toh itu tak penting karena faktanya pengeroyokan itu terlalu kejam jika disaksikan lebih dari dua puluh pasang mata di tengah kemacetan jalan. Toh semuanya bisa dibicarakan baik-baik di pinggir jalan.
Dan, ya: saya memang penakut. Saya merasa takut mereka akan mengeroyok saya, karena saya sok ikut campur. Dan memang kecil kemungkinan menang lawan tim preman itu. Tapi di dalam hati saya yang paling dalam, saya merasa hancur. Saya merasa bukan diri saya lagi. Saya menyesal setengah mati, saya malu pada sang korban. Saya malu pada perempuan yang berani melawan 4 laki-laki pengeroyok (mereka berempat lebih pantas disebut betina). Saya merasa bukan manusia utuh lagi: jika saya yang dipukuli dan begitu banyak orang berkerumun tanpa satupun menolong, betapa remuk hati saya. Sakitnya pasti melebihi remuknya wajah saya.
Ya Allah, ampunilah hamba-Mu ini. Ampunilah ketakutan hamba-Mu ini... hamba tak sanggup berkata-kata, hamba tak sanggup bersuara...
Comments
mmmhhhmmmm what can i say again?
sorry, me too
Begitulah jakarta semua manusianya buas dan semua mau jadi pahlawan. Hal2 seperti inilah yg menjadikan trauma bagi saya untuk menolong. jakarta memang seperti ibu tiri dalam sinetron2 dan telenovela,.uhmmm