Saya lebih nyaman berada di belakang panggung. I am introvert. I hate the spotlight. Jagoan idola saya Batman. Bukan Ironman. Saya bukan performer.
Lha tapi kan udah sering jadi pembicara, udah sering jadi koordinator, sekretaris, ketua panitia, ketua organisasi ini itu...
Sayangnya, iya. Itu betul. That's the facts. Saya akui. Tapi itu bukan karena saya ingin. Sering kali karena gak ada orang lain yang mau, sehingga memerlukan seseorang untuk menjalankan tugas tersebut. So I have to.
Honestly, I feel uncomfortable to do those kind of things, especially in front of public eyes.
Apalagi di jaman sosial media sekarang. Di mana setiap orang bisa menyampaikan apa saja di ranah publik. Di hadapan netizen yang selalu merasa benar, saya sering merasa amanah itu terasa lebih berat konsekuensi sosialnya ketimbang substansi job descriptions-nya.
Tapi lalu kadang ada kawan atau kenalan yang nanya dengan nada bercanda atau (kadang saya menduganya) 'serius',"Mas, gak pengen nyalon jadi bupati? Ini ada partai yang sedang melakukan penjaringan calon..."
Saya jawab,"Males ah jadi bupati. Potongan kayak saya ini levelnya menteri. Kalo bupati atau walikota down grade." š š„
Jawaban konyol ini biasanya akan menutup pembicaraan lebih lanjut soal "tawaran-tawaran" itu. Menganggap bahwa saya nyebelin dan gak serius. Sehingga "otomatis" tidak layak dicalonkan.
And that's my point. I feel nothing to lose to say that.
Saya memang tidak pernah serius membangun karier. Tidak punya roadmap personal untuk mencapai ini itu dalam hidup saya. I am flowing. I follow my own compass. Hidup buat saya bukan untuk kejar mengejar atau balapan sukses. Jadi saya tidak dibebani kepentingan ini itu.
Inilah yang saya pahami sebagai ilmu kantong bolong. Kantong yang tak bisa menyimpan apa-apa, sehingga kecurigaan atasmu tak beralasan, karena tak ada kepentingan yang diam-diam kau perjuangkan.
Ada yang punya cita-cita jadi pejabat, bupati, walikota, gubernur atau presiden. Sehingga menggunakan berbagai macam cara untuk mencapai jabatan itu, dan sekuat tenaga pula mempertahankannya. Memang kursi itulah tujuannya, kekuasaan itulah impiannya. Cita-citanya ya jabatan itu. Bukan amanah dan tanggung jawab dunia akhirat atas atas jabatan tersebut. Beberapa di antara mereka, saat ini - karena tak mampu mengendalikan nafsu dan kepentingan atas jabatannya - berakhir menginap di KPK.
Tapi ada sebagian yang cita-citanya sungguh-sungguh ingin berjuang untuk rakyat, memajukan masyarakat, membangun desanya, kotanya, meskipun dia tidak menjabat apa-apa. Orang-orang seperti ini, yang disebut Robin Sharma sebagai 'Leader who had no title' adalah pemimpin-pemimpin yang sesungguhnya. Dan jika orang-orang seperti ini, para pejuang sejati yang karena garis nasib atau didorong oleh banyak pihak untuk pada akhirnya menjadi pejabat, mereka sadar betul jabatan hanya amanah, hanya alat, hanya jembatan untuk cita-cita yang jauh lebih tinggi: melayani dan berjuang untuk masyarakat banyak.
Hidup ini hanya sementara. Saya sadar betul itu. Semua orang sukses di dunia ini, sepopuler dan sekuat apapun kekuasaannya... akan selesai dan mati. Karier di bumi ini, tidak pernah - sekali lagi - saya seriusin sampai bikin stress jika tak tercapai atau gagal di tengah jalan.
Saya ambisius. Terutama untuk hal-hal yang menjadi prioritas hidup saya. Buat saya, yang layak diperjuangkan dengan ambisi yang menyala-nyala adalah menjadi sebaik-baiknya hamba Tuhan, yang memberikan sebanyak-banyaknya kemanfaatan untuk sesama makhluk Tuhan lainnya.
"Jangan mati-matian mengejar segala sesuatu yang tidak bisa dibawa mati," kata Cak Nun. Saya ndherek beliau saja...
Comments