Kabar itu akhirnya datang. Trio bomber Bali telah dieksekusi kemarin malam jam 00.15. Serangkaian kontraversi atas proses persidanganpun berakhir. Seiring letusan peluru yang mengoyak dada dan menembus jantung, semoga dendam dan kebencian yang mewarnai bangsa ini, para korban dan saudara korban bom di Bali, rakyat Australia: semua luruh dan pergi mengangkasa bersama terbitnya mentari hari minggu ini.
Sebagai seorang muslim yang sangat percaya bahwa setiap perjuangan untuk menegakkan syiar Islam jalan terbaiknya adalah melalui Rahmatan lil 'Alamien: tak ada sedikitpun perjuangan kekerasan tanpa cinta yang diusung Amrozi cs yang bisa saya setujui. Karena Islam adalah agama penyebar damai, yang bahkan nabi Muhammad pun malah mendoakan orang-orang yang telah melemparinya dengan batu agar beroleh Rahmat Allah.
Nabi junjungan kita juga telah memberi tauladan keindahan yang sungguh luar biasa. Saat ada serombongan mengangkat keranda berisi mayat untuk dikuburkan, Nabi berdiri menghormati. Sahabat berkata," Ya Rasul, yang meninggal itu orang Yahudi. Mengapa engkau menghormatinya, bukankah mereka adalah musuh agama Allah?"
Sang Rasul Agung dengan tenang menjawab,"Bukankah Yahudi itu manusia juga seperti kita, sehingga dia juga adalah sesama hamba Allah yang wajib kita hormati?"
Rasul adalah manusia luhur seluhur-luhurnya. Dan kebijaksanaannya bergaung melewati abad demi abad.
Di saat pertama kali saya mendengar pagi ini bahwa di Batu Nusakambangan ada 3 orang hamba Allah yang dipanggil menghadapnya, saya pun tercenung. Mereka menghadapi regu tembak dengan mata terbuka, tanpa penutup. Dan mereka bukan pahlawan, seperti Robert Wolter Mongisidi yang dieksekusi oleh Belanda saat jama perjuangan dulu. Mereka hanyalah orang-orang yang memang harus bertanggung jawab atas tindakannya yang di luar kepantasan, kekejamannya yang merenggut jiwa-jiwa tak bersalah. Mereka meninggal sebagai pesakitan, di ujung senapan hukum dan keadilan.
Pagi ini, saya berdoa agar jiwa-jiwa para pembom yang kita menyebutnya teroris itu bisa beristirahat dengan tenang dan kepergian mereka menghadap-Nya tak menyeret serangkaian dendam yang tidak perlu. Saya percaya, akhir hidup di dunia bukanlah akhir segalanya. Pertanggungjawaban itu masih akan menunggu di akhirat, dimana keadilan tegak setegak-tegaknya.
Selamat jalan Imam Samudera, Amrozi, Mukhlas. Semoga kalian semua menjadi generasi terakhir dari umat Islam yang percaya bahwa kekerasan akan membawa damai. Semoga tak ada lagi yang mengikuti jejak kalian sebagai fatalis, karena sesungguhnya jalan jihad terbuka 1001 macamnya dan tak satupun yang memerlukan jatuhnya korban tak bersalah. Semoga hidup yang telah kalian jalani membuka tabir dan keindahan Islam sebagai agama penyebar damai.
Hanya dengan itu, ada setitik cahaya yang hadir bersama kepergian kalian menghadap Allah. Dan dengan setitik cahaya itu, semoga Allah mengampuni kesalahan kalian dan menyayangi semua korban bom bali, sanak saudaranya dan kita semua sebagai bangsa.
Semoga umat Islam dimanapun di seluruh dunia bisa bercermin dengan cermin buram dan retak ini. Kesalahan akan tetap menjadi sekedar kesalahan jika kita tak mau mengambil hikmahnya. Trio bomber dan segenap keyakinannya telah pergi dan meninggalkan kepada kita pelajaran hidup yang sungguh berharga. Sebagai sesama hamba Allah, sepotong doa untuk mereka telah saya panjatkan demi kedamaian yang lebih panjang untuk kita nikmati sepeninggalnya.
Sebagai seorang muslim yang sangat percaya bahwa setiap perjuangan untuk menegakkan syiar Islam jalan terbaiknya adalah melalui Rahmatan lil 'Alamien: tak ada sedikitpun perjuangan kekerasan tanpa cinta yang diusung Amrozi cs yang bisa saya setujui. Karena Islam adalah agama penyebar damai, yang bahkan nabi Muhammad pun malah mendoakan orang-orang yang telah melemparinya dengan batu agar beroleh Rahmat Allah.
Nabi junjungan kita juga telah memberi tauladan keindahan yang sungguh luar biasa. Saat ada serombongan mengangkat keranda berisi mayat untuk dikuburkan, Nabi berdiri menghormati. Sahabat berkata," Ya Rasul, yang meninggal itu orang Yahudi. Mengapa engkau menghormatinya, bukankah mereka adalah musuh agama Allah?"
Sang Rasul Agung dengan tenang menjawab,"Bukankah Yahudi itu manusia juga seperti kita, sehingga dia juga adalah sesama hamba Allah yang wajib kita hormati?"
Rasul adalah manusia luhur seluhur-luhurnya. Dan kebijaksanaannya bergaung melewati abad demi abad.
Di saat pertama kali saya mendengar pagi ini bahwa di Batu Nusakambangan ada 3 orang hamba Allah yang dipanggil menghadapnya, saya pun tercenung. Mereka menghadapi regu tembak dengan mata terbuka, tanpa penutup. Dan mereka bukan pahlawan, seperti Robert Wolter Mongisidi yang dieksekusi oleh Belanda saat jama perjuangan dulu. Mereka hanyalah orang-orang yang memang harus bertanggung jawab atas tindakannya yang di luar kepantasan, kekejamannya yang merenggut jiwa-jiwa tak bersalah. Mereka meninggal sebagai pesakitan, di ujung senapan hukum dan keadilan.
Pagi ini, saya berdoa agar jiwa-jiwa para pembom yang kita menyebutnya teroris itu bisa beristirahat dengan tenang dan kepergian mereka menghadap-Nya tak menyeret serangkaian dendam yang tidak perlu. Saya percaya, akhir hidup di dunia bukanlah akhir segalanya. Pertanggungjawaban itu masih akan menunggu di akhirat, dimana keadilan tegak setegak-tegaknya.
Selamat jalan Imam Samudera, Amrozi, Mukhlas. Semoga kalian semua menjadi generasi terakhir dari umat Islam yang percaya bahwa kekerasan akan membawa damai. Semoga tak ada lagi yang mengikuti jejak kalian sebagai fatalis, karena sesungguhnya jalan jihad terbuka 1001 macamnya dan tak satupun yang memerlukan jatuhnya korban tak bersalah. Semoga hidup yang telah kalian jalani membuka tabir dan keindahan Islam sebagai agama penyebar damai.
Hanya dengan itu, ada setitik cahaya yang hadir bersama kepergian kalian menghadap Allah. Dan dengan setitik cahaya itu, semoga Allah mengampuni kesalahan kalian dan menyayangi semua korban bom bali, sanak saudaranya dan kita semua sebagai bangsa.
Semoga umat Islam dimanapun di seluruh dunia bisa bercermin dengan cermin buram dan retak ini. Kesalahan akan tetap menjadi sekedar kesalahan jika kita tak mau mengambil hikmahnya. Trio bomber dan segenap keyakinannya telah pergi dan meninggalkan kepada kita pelajaran hidup yang sungguh berharga. Sebagai sesama hamba Allah, sepotong doa untuk mereka telah saya panjatkan demi kedamaian yang lebih panjang untuk kita nikmati sepeninggalnya.
(Image pinjem dari http://www.kompas.com/read/xml/2008/11/09/02494947/Amrozi.dkk..antara.12.Oktober.dan.9.November#)
Comments
Islam yang sekarang sedang sampeyan nikmati itu Islam yang dibawa Kanjeng Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam to? Nah, kalo memang ho'oh, lha mbok sampeyan ki lebih menditail mbaca kisah beliau. Jangan cuma yang sampeyan rasa cocok sama pikiran sampeyan terus maen comat-comat begitu saja. Tanpa kontemplasi dan semedi terlebih dulu, langsung sampeyan upload ke blog.
Eh, Nabi yang dimuliakan orang sejagad itu, sejak mukim di Madinah cuman naik haji sekali, umrah 2-3 kali dan 77 kali berperang. Saya ulangi nggih: Tujuh puluh tujuh kali.
Namanya perang, tentu saja pake kekerasan dong. Ada darah yang tertumpah. Ada yang sakit kebacok, ada yang mati...wis mesthi iku. Tapi, perang itu memang Dhawuh-nya Gusti Alloh. Taken for granted.
Namanya saja perang, tentu saja nggak enak, sayang. Jelas lebih enak makan jeruk seger, sambil mikir-mikir tagline apa yang akan dibikin untuk iklan rokok supaya orang-orang pada semakin bersemangat memasukkan asap-asap itu ke paru-parunya.
Namanya saja perang, ya jelas akan ada pembunuhan. Tapi, apakah pembunuhan itu adalah puncak kekejian seperti yang sampeyan pikirkan? Lha teneh nggak ada ayat: kutiba 'alaikumul qital. Diwajibkan atas kamu untuk berperang. Dan juga, Alfitnatu asyaddu minal qatl. Fitnah itu lebih kejem daripada pembunuhan. Artinya kadang-kadang 'pembunuhan' itu diperlukan dalam rangka mencegah fitnah yang lebih besar.
Sampeyan rak yo sudah ngerti to, kalo fitnah disini tuh artinya bukan cuma fitnah semacem yang menimpa anak laki SMA dan berkelit waktu dituduh suka ngintip cewek di kamar mandi? "Fitnah itu...fitnah itu...lha mbok yakin... sueer,"elaknya sambil menjap-menjep. JELAS, JELAS BUKAN FITNAH YANG BEGITUAN RIF.
Kadang-kadang..., eh kadang-kadang lho ini... Seseorang atau beberapa orang memang perlu dibunuh dalam rangka mencegah terjadinya kerusakan yang lebih besar. Aku yakin Sampeyan pasti bisa lah memahami kalimat ini. Opomaneh sampeyan rak wis nonton film WANTED to? Sampeyan biasane rak seneng to ngambil inspirasi dari dialog tokoh-tokoh di pilem-pilem?
Nah, jadi kalo boleh usul...kalo boleh lho ini...lha mbok cangkeme sampeyan itu rasah ndombleh, lambene gak usah dleweran sampe mencaci maki ke3 makhluk Tuhan itu meskipun dengan diksi yang sudah sampeyan genit-genitkan. Dengan redaksi sehalus dan se-elegan apapun sampeyan itu sudah menebar fitnah kemana-kemana tentang Abdul Azis, Amrozi dan Mukhlas.
Menurutku sih, biarlah mereka menjadi bagian dari kisah di panggung sejarah manusia yang penuh dengan cerita dan dinamika ini.
Mereka, dengan keyakinan dan pilihannya telah berbuat sesuatu yang mereka anggap bener. Dan ini mereka buktikan sejak mereka mengenal dan memahami agama ini sampai ujung senapan hukum dan keadilan (ini istilah sampeyan) versi NKRI dan AS(ini istilah saya)membawa mereka beralih ke fase kehidupan berikutnya. Dengan tegar, tanpa pernah sedikitpun minta ampun dan dengan mata terbuka.
Edian...ini adalah sebuah keteguhan yang sangat layak diapresiasi. Nggak leda-lede. Ini kisah nyata Rif, bukan cuman cerita piktip di pilem-pilem seperti yang suka kamu tonton terus kamu analisa lightingnya kok canggih, storyboardnya kok mantep, dan actingnya kok pas.
Sorry nih, ku compare sedikit tentang sampeyan dengan Abdul Aziz/Imam Samudera yang telah sampeyan maki-maki itu...
Tahu nggak, saat dia rela berdingin-dingin dan merasakan desingan peluru gerombolan Uni Soviet yang hendak menebar fitnah di Afghanistan, kamu sedang ngapain? Maaf nih...meskipun kesannya juga sangat heroik, paling-paling kamu lagi nyiapin konsep perencanaan visi petakumpet di kaliurang to? Kamu memang gembrobyos saat lari-lari dari plawangan. Imam Samudera juga lari-lari lho disana. Tapi, perasaan keringatnya beda deh.
Terakhir nih, kamu baca kisah tentang Robert Wolter Monginsidi di buku IPS apaan sih?
akhirnya kita berkenalan...
bagaimana kabarnya..saya suka nih baca2 blognya mas arif, sangat bermanfaat untuk menggugah gelora jihad..di keluarga; mencari nafkah,mengayomi istri, mendidik anak jihad...di pemikiran, menulis; jihad di lingkungan...perhatian dan membantu sesama dan yang kekurangan, jihad di teman2 kita menuntun dan membimbing dengan sabar ke arah kebaikan menurut-Nya...semua itu jihad dan akhirnya jihad dalam memerangi yang bathil...jika diperlukan dan pembunuhan adalah episode terakhir..karena nabi juga tidak menganjurkan langsung perang...terbukti di mekkah...yang hijrah ke madinah tp tdk langsung berperang...tergantung kondisi dan itu merupakan episode masing2 manusia kepada Tuhannya..keadilan ada padaNya...mdh2an kita menjadi orang2 yang disayangiNya dan menjadi syuhada jua..amiinnn mohon dikoreksi bila saya bersalah...salam kenal sekali lagi mohon ijin untuk disertakan di blog saya mas arif...wass