Orang-orang yang berfikir adalah mereka yang senantiasa gelisah. Kegelisahan itu sendiri adalah bukti adanya kedinamisan berfikir. Segala sesuatu yang merupakan hasil dari pemikiran harus terus dipertanyakan dan diaktualisasikan dengan konteks yang juga selalu berubah.
Seorang pemikir juga harus mempunyai keberanian untuk – jika diperlukan – menabrak pakem atau aturan yang membelenggu kebebasannya. Bahkanpun jika ada ajaran agama yang tidak logis (atau menurutnya tak logis) tetap akan dipertanyakan dengan dasar-dasar yang akurat dan bukan sekedar protes membabi buta.
Seorang pemikir, kadangkala juga terpaksa berhadapan dengan pendapat umum tentang suatu kebenaran. Kebenaran yang dibawa seseorang tidak jarang bertentangan dengan kebenaran banyak orang. Ini tidak perlu dirisaukan. Yang penting adalah bahwa masing-masing pihak saling menghormati dan senantiasa terus mencari kebenaran yang sejati.
Untuk menjadi seorang pemikir, mungkin bagus jika memulainya terlebih dahulu sebagai pengamat. Ia mengamati dengan cermat segala hal yang menjadi ladang pemikirannya: bisa secara langsung atau lewat sumber-sumber lain yang relevan (buku-buka, data, informasi pihak lain, dll.)
Dari pengamatan itu, data dan fakta diformulasikan, di-cross check dan dikronologikan. Kemudian ditarik hal-hal substansial yang menjadi ujung benang merahnya. Semacam metode ilmiah yang lebih praktis.
Proses ketertarikan seseorang menjadi pemikir, biasanya dimulai dari hal-hal yang kecil yang unik dan membawa suasana fun. Misalnya: senang pada bacaan-bacaan ringan yang tak membuat dahi berkerut. Jika proses ini berlanjut, ia harus mulai merambah hal-hal mendasar, ilmu-ilmu beneran sebagai pijakan proses berfikirnya. Proses ini tentu saja tak sebentar, masing-masing orang berhak menentukan tahapannya sendiri dan memasukkan input yang terbaik untuk perkembangan pemikirannya.
Dan tentu saja tak setiap orang harus jadi pemikir. Ada sunatullah yang mengatur peran dan posisi sosial tiap-tiap manusia supaya kehidupan bisa terus berjalan. Seorang pemikir tak memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada orang yang tak suka berpikir. Yang harus dikembangkan adalah sikap toleransi dan saling menghormati.
Tapi barangkali, seorang pemikir yang gelisah adalah suatu kutukan. Adakah kebahagiaan yang bisa diperoleh dalam kegelisahan? Ataukah kegelisahan yang terus menerus ini akan menemukan kebahagiaan di ujungnya?
Entahlah, wallahu ’alam bis shawab...
Seorang pemikir juga harus mempunyai keberanian untuk – jika diperlukan – menabrak pakem atau aturan yang membelenggu kebebasannya. Bahkanpun jika ada ajaran agama yang tidak logis (atau menurutnya tak logis) tetap akan dipertanyakan dengan dasar-dasar yang akurat dan bukan sekedar protes membabi buta.
Seorang pemikir, kadangkala juga terpaksa berhadapan dengan pendapat umum tentang suatu kebenaran. Kebenaran yang dibawa seseorang tidak jarang bertentangan dengan kebenaran banyak orang. Ini tidak perlu dirisaukan. Yang penting adalah bahwa masing-masing pihak saling menghormati dan senantiasa terus mencari kebenaran yang sejati.
Untuk menjadi seorang pemikir, mungkin bagus jika memulainya terlebih dahulu sebagai pengamat. Ia mengamati dengan cermat segala hal yang menjadi ladang pemikirannya: bisa secara langsung atau lewat sumber-sumber lain yang relevan (buku-buka, data, informasi pihak lain, dll.)
Dari pengamatan itu, data dan fakta diformulasikan, di-cross check dan dikronologikan. Kemudian ditarik hal-hal substansial yang menjadi ujung benang merahnya. Semacam metode ilmiah yang lebih praktis.
Proses ketertarikan seseorang menjadi pemikir, biasanya dimulai dari hal-hal yang kecil yang unik dan membawa suasana fun. Misalnya: senang pada bacaan-bacaan ringan yang tak membuat dahi berkerut. Jika proses ini berlanjut, ia harus mulai merambah hal-hal mendasar, ilmu-ilmu beneran sebagai pijakan proses berfikirnya. Proses ini tentu saja tak sebentar, masing-masing orang berhak menentukan tahapannya sendiri dan memasukkan input yang terbaik untuk perkembangan pemikirannya.
Dan tentu saja tak setiap orang harus jadi pemikir. Ada sunatullah yang mengatur peran dan posisi sosial tiap-tiap manusia supaya kehidupan bisa terus berjalan. Seorang pemikir tak memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada orang yang tak suka berpikir. Yang harus dikembangkan adalah sikap toleransi dan saling menghormati.
Tapi barangkali, seorang pemikir yang gelisah adalah suatu kutukan. Adakah kebahagiaan yang bisa diperoleh dalam kegelisahan? Ataukah kegelisahan yang terus menerus ini akan menemukan kebahagiaan di ujungnya?
Entahlah, wallahu ’alam bis shawab...
Comments