Skip to main content

Manusia Kantong Bolong

Jabatan itu amanah, bukan karier. Itu menurut Pak Ignasius Jonan. Mantan  menteri, 2 kali jabatan. Dan saya 100% setuju. Dalam perjalanan hidup saya - seingat saya - saya tidak pernah mencalonkan diri untuk jadi apa atau untuk menjabat apa. Bisa jadi karena cita-cita saya tidak tinggi, atau saya tidak nyaman untuk menonjolkan diri.

Saya lebih nyaman berada di belakang panggung. I am introvert. I hate the spotlight. Jagoan idola saya Batman. Bukan Ironman. Saya bukan performer.

Lha tapi kan udah sering jadi pembicara, udah sering jadi koordinator, sekretaris, ketua panitia, ketua organisasi ini itu... 

Sayangnya, iya. Itu betul. That's the facts. Saya akui. Tapi itu bukan karena saya ingin. Sering kali karena gak ada orang lain yang mau, sehingga memerlukan seseorang untuk menjalankan tugas tersebut. So I have to.

Honestly, I feel uncomfortable to do those kind of things, especially in front of public eyes.

Apalagi di jaman sosial media sekarang. Di mana setiap orang bisa menyampaikan apa saja di ranah publik. Di hadapan netizen yang selalu merasa benar, saya sering merasa amanah itu terasa lebih berat konsekuensi sosialnya ketimbang substansi job descriptions-nya.

Tapi lalu kadang ada kawan atau kenalan yang nanya dengan nada bercanda atau (kadang saya menduganya) 'serius',"Mas, gak pengen nyalon jadi bupati? Ini ada partai yang sedang melakukan penjaringan calon..."

Saya jawab,"Males ah jadi bupati. Potongan kayak saya ini levelnya menteri. Kalo bupati atau walikota down grade." šŸ˜…šŸ”„

Jawaban konyol ini biasanya akan menutup pembicaraan lebih lanjut soal "tawaran-tawaran" itu. Menganggap bahwa saya nyebelin dan gak serius. Sehingga "otomatis" tidak layak dicalonkan.

And that's my point. I feel nothing to lose to say that. 

Saya memang tidak pernah serius membangun karier. Tidak punya roadmap personal untuk mencapai ini itu dalam hidup saya. I am flowing. I follow my own compass. Hidup buat saya bukan untuk kejar mengejar atau balapan sukses. Jadi saya tidak dibebani kepentingan ini itu. 

Inilah yang saya pahami sebagai ilmu kantong bolong. Kantong yang tak bisa menyimpan apa-apa, sehingga kecurigaan atasmu tak beralasan, karena tak ada kepentingan yang diam-diam kau perjuangkan.

Ada yang punya cita-cita jadi pejabat, bupati, walikota, gubernur atau presiden. Sehingga menggunakan berbagai macam cara untuk mencapai jabatan itu, dan sekuat tenaga pula mempertahankannya. Memang kursi itulah tujuannya, kekuasaan itulah impiannya. Cita-citanya ya jabatan itu. Bukan amanah dan tanggung jawab dunia akhirat atas atas jabatan tersebut. Beberapa di antara mereka, saat ini - karena tak mampu mengendalikan nafsu dan kepentingan atas jabatannya - berakhir menginap di KPK. 

Tapi ada sebagian yang cita-citanya sungguh-sungguh ingin berjuang untuk rakyat, memajukan masyarakat, membangun desanya, kotanya, meskipun dia tidak menjabat apa-apa. Orang-orang seperti ini, yang disebut Robin Sharma sebagai 'Leader who had no title' adalah pemimpin-pemimpin yang sesungguhnya. Dan jika orang-orang seperti ini, para pejuang sejati yang karena garis nasib atau didorong oleh banyak pihak untuk pada akhirnya menjadi pejabat, mereka sadar betul jabatan hanya amanah, hanya alat, hanya jembatan untuk cita-cita yang jauh lebih tinggi: melayani dan berjuang untuk masyarakat banyak.

Hidup ini hanya sementara. Saya sadar betul itu. Semua orang sukses di dunia ini, sepopuler dan sekuat apapun kekuasaannya... akan selesai dan mati. Karier di bumi ini, tidak pernah - sekali lagi - saya seriusin sampai bikin stress jika tak tercapai atau gagal di tengah jalan.

Saya ambisius. Terutama untuk hal-hal yang menjadi prioritas hidup saya. Buat saya, yang layak diperjuangkan dengan ambisi yang menyala-nyala adalah menjadi sebaik-baiknya hamba Tuhan, yang memberikan sebanyak-banyaknya kemanfaatan untuk sesama makhluk Tuhan lainnya.

"Jangan mati-matian mengejar segala sesuatu yang tidak bisa dibawa mati," kata Cak Nun. Saya ndherek beliau saja...

Comments

Popular posts from this blog

Kunci Sukses Bisnis (3)

Sempat terjadi dalam periode kehidupan saya saat awal-awal bersama teman-teman memulai Petakumpet, waktu 24 jam sehari rasanya tak cukup. Hari-hari itu begitu melelahkannya, rasanya tak kuat saya menyelesaikan begitu banyak tanggung jawab menyangkut komunitas, pekerjaan, kehidupan persoanl saya yang berantakan. Saya pun mengadu pada Allah,"Ya Allah, jika sehari bisa lebih dari 24 jam rasanya saya akan punya kesempatan lebih banyak untuk menyelesaikan semua tanggung jawab saya..." Tapi rasanya Allah tak mendengar doa saya. Atau saya nya yang tak punya kemampuan mendengarkan-Nya. Pekerjaan seperti nya mengalir tak habis-habis, ada duitnya emang, tapi duit nya pun mengalir lancar keluar tak pernah terpegang barang sebentar. Hidup saya begitu capeknya, badan pegel-pegel tiap malam, Sabtu Minggu pun dihajar pekerjaan. Saat-saat seperti itu, saya melihat buku karangan Stephen Covey The Seven Habits of Highly Effective People di Shopping Center (pusat buku murah) Jogja. Dengan

Jadual Diskusi dan Bedah Buku

Berikut beberapa jadual diskusi, talk show atau bedah buku yang udah masuk di Bulan Ramadhan (September) sekaligus menjawab beberapa imel yang menanyakan ke saya kapan ada diskusi buku Jualan Ide Segar: Bedah Buku Jualan Ide Segar (M. Arief Budiman) dan Mata Hati Iklan Indonesia (Sumbo Tinarbuko) di Diskomvis FSR ISI Yogyakarta. Kamis, 11 September 2008 jam 15.00 - 18.00 WIB. Juga menampilkan Sujud Dartanto sebagai pembahas. Untuk Mahasiswa ISI Jogja dan Umum (Free) Ngopi Bareng Penjual Ide Segar di Melting Pot, Sabtu, 13 September 2008, 20.00 - 22.00 WIB, Untuk Umum HTM Rp 15.000,- (Free 1 cup Coffee) Sarasehan Keajaiban Berbisnis Ide di ADVY (Akademi Desain Visi Yogyakarta), Senin, 15 September 2008, 09.00 - 12.00 WIB, untuk Mahasiswa ADVY (Free) Yang segera menyusul adalah Diskusi dan Bedah Buku di Jurusan Komunikasi UGM, semoga juga bisa terlaksana di Bulan September ini. Buat temen-temen silakan hadir untuk meramaikan proses belajar kreatif yang tentu saja sangat fun dan menyena

Filosofi Ember

Mengapa kita yang telah bekerja keras dari pagi buta sebelum subuh sampai lepas Isya' bahkan larut malam sampe rumah, tapi rezeki tetep seret? Mengapa kita telah membanting tulang sampai capek-capek pegal tapi ATM  tetap kosong dan tiap tengah bulan keuangan masih minus? Mengapa uang yang puluhan tahun kita kumpulkan sedikit demi sedikit tiba-tiba habis tandas didongkel maling saat kita pergi? Mengapa kita sakit-sakitan tak kunjung sembuh? Mengapa hidup ini makin lama makin sulit kita jalani dan rasa-rasanya kebahagiaan itu cuma milik orang lain dan bukan kita? Saya mengalami sendiri sulitnya mencari jawaban, saat pertanyaan di atas tak sekedar memenuhi kepala saya tapi menyatu dalam setiap tarikan nafas saya. Rasa bingung itu, capek itu, gelapnya perasaan saat membentur dinding yang tebal dan tinggi, sesak nafas saat masalah-masalah memuncak. Pencarian itu membawa saya pada sebuah benda: ember .  Ember? Kok? Bagaimana bisa ember menjawab persoalan seberat