Visual Branding: Gambaran Awal
Anda pernah mendengar tentang Wang Computer? Anda pernah dengar rokok Cap Gentong? Rokok Filtra? Next Computer? Word Star? Belum?
Kalau Nokia? Apple Computer? Bill Gates? Leonardo di Caprio? Nike? A Mild? Udah pernah dengar? Udah? Atau malah sering?
Strategi pengelolaan brand atau merk-lah yang akhirnya membuat sebuah brand bisa dikenal oleh audiensnya, bahkan oleh masyarakat umum jauh di ujung dunia. Proses brand buliding membutuhkan waktu yang cukup lama dan harus dikerjakan dengan sistematis dan kontinyu. Anda ingat siapa pemenang AFI 2? Atau pemenang Penghuni Terakhir 1?
Upaya untuk melakukan brand building dengan cara instant hanya akan menghasilkan output yang instant pula. Saya sendiri meyakini, bahwa proses brand bulding itu sewajarnya mengikuti hukum alam sehingga tidak dipaksakan. Jika Delon yang hanya Runner Up Indonesia Idol 1 saat ini lebih populer dibandingkan dengan Joy sebagai juaranya, itu membuktikan bahwa promosi yang luar biasa yang dilakukan RCTI saat kompetisi Indonesian Idol beberapa saat yang lalu memang terbatas hasilnya. Karena tidak kontinyu, sehingga tertutupi oleh Indonesian Idol 2. Belum acara-acara yang lainnya. Artinya, brand itu harus di-maintain seperti layaknya kita merawat tanaman atau hewan peliharaan kita. Tanpa perawatan, maka tanaman akan layu, kering dan akhirnya mati.
Pengertian
Jadi, apa yang dimaksud visual branding? Sebuah sumber dari InfoVis.net mengatakan bahwa visual branding adalah pengaruh yang diakibatkan oleh suatu bentuk visual untuk mendifferensiasikan brand. Differensiasi artinya membedakan brand tersebut dari brand kompetitor, sehingga dapat terlihat dan dirasakan menonjol dibanding yang lain dan paling diingat audiensnya (tingkat reminding-nya tinggi).
Adapun elemen-elemen terpenting sebuah visual branding terdiri atas:
- Brand (merk, logo) yang bisa berbentuk visual, susunan huruf atau keduanya
- Warna (produk, korporat)
- Komposisi semua elemen penyusunnya
Dan tiga hal tersebut biasanya lalu diimplementasikan dalam Brand Identity sebuah perusahaan atau sebuah produk, yang bisa kita lihat di media lini atas (above the line) maupun media lini bawah (below the line). Selanjutnya, kita bisa saksikan parade kampanyenya di iklan teve, iklan koran, liflet, brosur, billboard bahkan event-event off air. Tujuannya jelas, agar brand tersebut bisa dikenal oleh audiensnya: pertama bisa diingat secara visual, selanjutnya bisa diterima di hati.
Mengapa Jadi Penting
Visual branding tidak hanya marak akhir-akhir ini saja. Bangsa Mesir telah melakukannya 3000 tahun sebelum masehi dengan menulis lambang-lambang pada tempat minum mereka yang terbuat dari tanah liat. Sampai hari ini, trilliunan dollar dikeluarkan untuk proses pemasaran dan promosi yang kita kenal sebagai visual branding. Lalu ada jabatan yang namanya Brand Manager. Bahkan, telah muncul agency yang khusus didirikan untuk menangani brand semata seperti Landor Associates. Harga desain 1 logo korporat dan aplikasinya bisa milyaran rupiah.
Jaman terus berubah, sesuai hukum supply & demand. Siapa sekarang mampu yang ingat semua nama shampo, sabun cuci, permen atau snack? Ribuan bahkan ratusan ribu merk berkeliaran menggoda mata kita di teve, di supermarket, di warung-warung kecil, di atas bis umum sampai di pinggir jalan. Berapa yang berhenti di benak sehingga kita sempat mengingatnya bahkan menjadi konsumen setianya?
Saya yakin tidak banyak. Yang pertama karena memang daya ingat otak kita terbatas. Yang kedua, karena tidak semua brand di-manage dengan baik oleh produsennya. Brand yang Anda kenal baik seperti pertanyaan saya di awal adalah beberapa contoh brand yang memang di-manage dengan sangat baik. Baik saja belum cukup mengingat tingkat persaingan yang sangat luar biasa antar sesama pemegang brand. Supply yang ada telah melebihi demand, sehingga hampir bisa dipastikan dari 10 produk sejenis yang dilempar ke market, 6 sampe 7 produk akan rontok sebelum tahun pertama. Hanya 1 atau 2 produk yang akan survive setelah 5 tahun berjalan.
Jadi sangat wajar jika produsen sewajarnya menganggap penting proses visual branding, meskipun biayanya tentu tidak kecil. Lagipula hasilnya tidak bisa dilihat dalam waktu singkat. Naiknya penjualan tidak bisa dilihat 1 atau 2 bulan setelah kampanye promosi dilakukan. Tapi yang menjadi tujuan visual branding adalah long term goal, yaitu kontinuitas dan stabilitas pendapatan atas brand produk atau servis yang dimilikinya. Bukan kenaikan omzet yang sporadis untuk akhirnya malah merugi dalam perjalanannya.
Sangat sulit untuk meyakinkan pemilik brand agar menginvestasikan dananya untuk melakukan proses visual branding. Mereka biasanya menginginkan hasil yang cepat, yang instant. Mereka tidak percaya pada proses, pada hukum alam. Akibatnya, strategi hard sell lebih mudah di-acc. Indonesia dengan ribuan perusahaannya memiliki ratusan ribu bahkan jutaan brand, tapi coba lihat berapa yang branded. Sangat sedikit. Sehingga tidak mampu mendorong ekonomi Indonesia yang sedang terpuruk. Coba bandingkan dengan Singapura. Malaysia. Apalagi Amerika. Saya selalu sedih memikirkan hal tersebut. (Dan ini rahasia kecil antar kita aja: brand Diskomvis atau ISI Yogyakarta juga mulai redup. Jika tidak segera dibenahi bisa lenyap ditelan masa lalu. Tapi ini rahasia lho, jangan ada yang boleh tahu!)
Strategi Visual Branding
Marty Neumeier dalam bukunya The Brand Gap membeberkan strategi visual branding menjadi 5 tahap: differensiasi, kolaborasi, inovasi, evaluasi dan manajemen.
Diffrensiasi: untuk berhasil, sebuah produk harus mempunyai pembeda yang unik dengan produk lain. Pembeda tersebut bisa berasal dari kategori produknya sendiri, segmentasi, kualitas atau packaging-nya. Al Ries mempunyai konsep jadilah yang pertama dalam kategori tertentu. Anda tahu siapa orang pertama yang menginjak bulan? Benar, Neil Armstrong. Tapi Anda akan sulit mengingat orang ketujuh yang sampai ke bulan kan?
Kolaborasi: brand building tidak bisa dikerjakan semuanya oleh produsen. Dan ini harus dipahami, karena beberapa produsen menganggap pekerjaan menangani brand adalah sangat mudah sehingga mereka memilih merekrut beberapa orang untuk menghemat. Akibatnya, brand mereka tidak pernah bisa menjadi top of mind. Dibutuhkan kerjasama dengan agency, institusi terkait, juga dengan konsumen sendiri sebagai target market. Konsumen juga harus didengarkan pendapatnya, tidak sekedar dijejali promosi yang terus menerus yang malah akan menimbulkan antipati. Kolaborasi untuk membesarkan brand bukan pekerjaan yang mudah. Tapi jika berhasil, hasil yang didapatkan juga luar biasa.
Inovasi: brand yang tidak diremajakan dan direvitalisasi akan lenyap ditelan waktu. Konsumen juga punya sifat bosan, sehingga harus disegarkan pandangan dan ingatannya. Anda sering melihat A Mild mengganti tema kampanyenya tiap-tiap tahun secara kontinyu sehingga konsumen tidak apatis. Satu hal penting: perubahan yang dilakukan harus sistematis dan tetap menjaga benang merah komunikasinya. Jika Anda perhatikan dengan teliti, selalu ada tagline: Bukan Basa-Basi di Iklan A Mild. Tanpa konsistensi, perubahan hanya akan membingungkan konsumen.
Evaluasi: tingkat penerimaan target audiens atas sebuah brand harus dilacak dan diketahui. Biasanya kuesioner atau survey dilakukan untuk mendapatkan tingkat akseptabilitas (penerimaan) khalayak. Akan lebih baik jika hasil evaluasi ini bisa digunakan sebagai bahan bagi produsen dan agency untuk menentukan strategi branding tahap berikutnya. Produsen tidak boleh hanya mendasarkan pengetahuan atas kekuatan brand-nya hanya dari liputan berita di media dan jumlah iklan yang ditayangkan, tapi justru yang terpenting dari khalayak sendiri sebagai tester sekaligus target market-nya.
Manajemen: brand tidak hidup di lembar-lembar iklan atau bersuara di iklan radio. Brand hidup di otak dan hati konsumennya. Juga di budaya perusahaan produsennya. Brand harus tetap hidup dan bergerak seiring jamannya, agar tidak terlindas kerasnya kompetisi. Coca Cola menjadi contoh bagus bahwa brand bisa bertahan dari generasi ke generasi bahkan mencapai nilai yang lebih besar dari aset perusahaan Coca Cola keseluruhan.
Itulah the power of visual branding. Ini semua membutuhkan manajemen brand yang kuat dan bervisi ke depan.
Anda pernah mendengar tentang Wang Computer? Anda pernah dengar rokok Cap Gentong? Rokok Filtra? Next Computer? Word Star? Belum?
Kalau Nokia? Apple Computer? Bill Gates? Leonardo di Caprio? Nike? A Mild? Udah pernah dengar? Udah? Atau malah sering?
Strategi pengelolaan brand atau merk-lah yang akhirnya membuat sebuah brand bisa dikenal oleh audiensnya, bahkan oleh masyarakat umum jauh di ujung dunia. Proses brand buliding membutuhkan waktu yang cukup lama dan harus dikerjakan dengan sistematis dan kontinyu. Anda ingat siapa pemenang AFI 2? Atau pemenang Penghuni Terakhir 1?
Upaya untuk melakukan brand building dengan cara instant hanya akan menghasilkan output yang instant pula. Saya sendiri meyakini, bahwa proses brand bulding itu sewajarnya mengikuti hukum alam sehingga tidak dipaksakan. Jika Delon yang hanya Runner Up Indonesia Idol 1 saat ini lebih populer dibandingkan dengan Joy sebagai juaranya, itu membuktikan bahwa promosi yang luar biasa yang dilakukan RCTI saat kompetisi Indonesian Idol beberapa saat yang lalu memang terbatas hasilnya. Karena tidak kontinyu, sehingga tertutupi oleh Indonesian Idol 2. Belum acara-acara yang lainnya. Artinya, brand itu harus di-maintain seperti layaknya kita merawat tanaman atau hewan peliharaan kita. Tanpa perawatan, maka tanaman akan layu, kering dan akhirnya mati.
Pengertian
Jadi, apa yang dimaksud visual branding? Sebuah sumber dari InfoVis.net mengatakan bahwa visual branding adalah pengaruh yang diakibatkan oleh suatu bentuk visual untuk mendifferensiasikan brand. Differensiasi artinya membedakan brand tersebut dari brand kompetitor, sehingga dapat terlihat dan dirasakan menonjol dibanding yang lain dan paling diingat audiensnya (tingkat reminding-nya tinggi).
Adapun elemen-elemen terpenting sebuah visual branding terdiri atas:
- Brand (merk, logo) yang bisa berbentuk visual, susunan huruf atau keduanya
- Warna (produk, korporat)
- Komposisi semua elemen penyusunnya
Dan tiga hal tersebut biasanya lalu diimplementasikan dalam Brand Identity sebuah perusahaan atau sebuah produk, yang bisa kita lihat di media lini atas (above the line) maupun media lini bawah (below the line). Selanjutnya, kita bisa saksikan parade kampanyenya di iklan teve, iklan koran, liflet, brosur, billboard bahkan event-event off air. Tujuannya jelas, agar brand tersebut bisa dikenal oleh audiensnya: pertama bisa diingat secara visual, selanjutnya bisa diterima di hati.
Mengapa Jadi Penting
Visual branding tidak hanya marak akhir-akhir ini saja. Bangsa Mesir telah melakukannya 3000 tahun sebelum masehi dengan menulis lambang-lambang pada tempat minum mereka yang terbuat dari tanah liat. Sampai hari ini, trilliunan dollar dikeluarkan untuk proses pemasaran dan promosi yang kita kenal sebagai visual branding. Lalu ada jabatan yang namanya Brand Manager. Bahkan, telah muncul agency yang khusus didirikan untuk menangani brand semata seperti Landor Associates. Harga desain 1 logo korporat dan aplikasinya bisa milyaran rupiah.
Jaman terus berubah, sesuai hukum supply & demand. Siapa sekarang mampu yang ingat semua nama shampo, sabun cuci, permen atau snack? Ribuan bahkan ratusan ribu merk berkeliaran menggoda mata kita di teve, di supermarket, di warung-warung kecil, di atas bis umum sampai di pinggir jalan. Berapa yang berhenti di benak sehingga kita sempat mengingatnya bahkan menjadi konsumen setianya?
Saya yakin tidak banyak. Yang pertama karena memang daya ingat otak kita terbatas. Yang kedua, karena tidak semua brand di-manage dengan baik oleh produsennya. Brand yang Anda kenal baik seperti pertanyaan saya di awal adalah beberapa contoh brand yang memang di-manage dengan sangat baik. Baik saja belum cukup mengingat tingkat persaingan yang sangat luar biasa antar sesama pemegang brand. Supply yang ada telah melebihi demand, sehingga hampir bisa dipastikan dari 10 produk sejenis yang dilempar ke market, 6 sampe 7 produk akan rontok sebelum tahun pertama. Hanya 1 atau 2 produk yang akan survive setelah 5 tahun berjalan.
Jadi sangat wajar jika produsen sewajarnya menganggap penting proses visual branding, meskipun biayanya tentu tidak kecil. Lagipula hasilnya tidak bisa dilihat dalam waktu singkat. Naiknya penjualan tidak bisa dilihat 1 atau 2 bulan setelah kampanye promosi dilakukan. Tapi yang menjadi tujuan visual branding adalah long term goal, yaitu kontinuitas dan stabilitas pendapatan atas brand produk atau servis yang dimilikinya. Bukan kenaikan omzet yang sporadis untuk akhirnya malah merugi dalam perjalanannya.
Sangat sulit untuk meyakinkan pemilik brand agar menginvestasikan dananya untuk melakukan proses visual branding. Mereka biasanya menginginkan hasil yang cepat, yang instant. Mereka tidak percaya pada proses, pada hukum alam. Akibatnya, strategi hard sell lebih mudah di-acc. Indonesia dengan ribuan perusahaannya memiliki ratusan ribu bahkan jutaan brand, tapi coba lihat berapa yang branded. Sangat sedikit. Sehingga tidak mampu mendorong ekonomi Indonesia yang sedang terpuruk. Coba bandingkan dengan Singapura. Malaysia. Apalagi Amerika. Saya selalu sedih memikirkan hal tersebut. (Dan ini rahasia kecil antar kita aja: brand Diskomvis atau ISI Yogyakarta juga mulai redup. Jika tidak segera dibenahi bisa lenyap ditelan masa lalu. Tapi ini rahasia lho, jangan ada yang boleh tahu!)
Strategi Visual Branding
Marty Neumeier dalam bukunya The Brand Gap membeberkan strategi visual branding menjadi 5 tahap: differensiasi, kolaborasi, inovasi, evaluasi dan manajemen.
Diffrensiasi: untuk berhasil, sebuah produk harus mempunyai pembeda yang unik dengan produk lain. Pembeda tersebut bisa berasal dari kategori produknya sendiri, segmentasi, kualitas atau packaging-nya. Al Ries mempunyai konsep jadilah yang pertama dalam kategori tertentu. Anda tahu siapa orang pertama yang menginjak bulan? Benar, Neil Armstrong. Tapi Anda akan sulit mengingat orang ketujuh yang sampai ke bulan kan?
Kolaborasi: brand building tidak bisa dikerjakan semuanya oleh produsen. Dan ini harus dipahami, karena beberapa produsen menganggap pekerjaan menangani brand adalah sangat mudah sehingga mereka memilih merekrut beberapa orang untuk menghemat. Akibatnya, brand mereka tidak pernah bisa menjadi top of mind. Dibutuhkan kerjasama dengan agency, institusi terkait, juga dengan konsumen sendiri sebagai target market. Konsumen juga harus didengarkan pendapatnya, tidak sekedar dijejali promosi yang terus menerus yang malah akan menimbulkan antipati. Kolaborasi untuk membesarkan brand bukan pekerjaan yang mudah. Tapi jika berhasil, hasil yang didapatkan juga luar biasa.
Inovasi: brand yang tidak diremajakan dan direvitalisasi akan lenyap ditelan waktu. Konsumen juga punya sifat bosan, sehingga harus disegarkan pandangan dan ingatannya. Anda sering melihat A Mild mengganti tema kampanyenya tiap-tiap tahun secara kontinyu sehingga konsumen tidak apatis. Satu hal penting: perubahan yang dilakukan harus sistematis dan tetap menjaga benang merah komunikasinya. Jika Anda perhatikan dengan teliti, selalu ada tagline: Bukan Basa-Basi di Iklan A Mild. Tanpa konsistensi, perubahan hanya akan membingungkan konsumen.
Evaluasi: tingkat penerimaan target audiens atas sebuah brand harus dilacak dan diketahui. Biasanya kuesioner atau survey dilakukan untuk mendapatkan tingkat akseptabilitas (penerimaan) khalayak. Akan lebih baik jika hasil evaluasi ini bisa digunakan sebagai bahan bagi produsen dan agency untuk menentukan strategi branding tahap berikutnya. Produsen tidak boleh hanya mendasarkan pengetahuan atas kekuatan brand-nya hanya dari liputan berita di media dan jumlah iklan yang ditayangkan, tapi justru yang terpenting dari khalayak sendiri sebagai tester sekaligus target market-nya.
Manajemen: brand tidak hidup di lembar-lembar iklan atau bersuara di iklan radio. Brand hidup di otak dan hati konsumennya. Juga di budaya perusahaan produsennya. Brand harus tetap hidup dan bergerak seiring jamannya, agar tidak terlindas kerasnya kompetisi. Coca Cola menjadi contoh bagus bahwa brand bisa bertahan dari generasi ke generasi bahkan mencapai nilai yang lebih besar dari aset perusahaan Coca Cola keseluruhan.
Itulah the power of visual branding. Ini semua membutuhkan manajemen brand yang kuat dan bervisi ke depan.
Comments