Ini kisah nyata. Saya denger sendiri dari orangnya di angkringan deket kantor. Berikut ceritanya:
Dulu saya Islam. Tapi setiap ikut jumatan khotbahnya lama, bikin ngantuk. Lalu pindah agama, tapi di gereja banyak sekali nyanyiannya. Saya gak bisa nyanyi dan malah bingung. Lagipula, saya tidak bisa meninggalkan rokok. Saat ibadah di masjid maupun di gereja, saya tidak boleh merokok. Dan sekarang saya tidak punya agama. Saya merokok kapanpun saya mau. Rasanya kok lebih bebas.
Semua yang mendengar mencoba memberi nasehat, tapi selalu mentok: setahu saya memang mayoritas khotbah di masjid bikin ngantuk. Tapi terus terang saya tidak tahu apa yang terjadi di dalam gereja. Dan faktanya memang tokoh kita ini tidak bisa lepas dari rokok, sejak SD. Rumah ibadah memang tak pernah ramah pada perokok.
Saya tidak sedang membahas perbandingan agama. Juga tak punya maksud tertentu untuk menilai agama tertentu. Saya hanya melihatnya dari sudut pandang universal: ritual ibadah kita terasa kurang 'hidup'. Kurang punya 'ruh'. Kurang mampu membuat jamaahnya inspired. Dan para petinggi keagamaan selalu berdalih, ibadah ya dari dulu begitu. Jangan diubah-ubah, dosa besar. Kafir kamu nanti! Kalau ngantuk itu artinya kamu nggak punya niat. Bukan khotibnya yang salah, khotib ya begitu itu. Namanya juga khotib!
Tapi ketika ada hamba yang imannya terbang seperti itu, tidakkah kita semua - para pemeluk agama apapun - perlu bercermin? Tidakkah kita perlu memikirkan ulang kontekstualitas pesan kita kepada para jamaah sehingga meresap dalam ke dasar hati mereka?
Saya ingat satu khotbah Gus Mus di mesjid Rembang saat Jumatan beberapa tahun yang lalu. Di awal khotbah beliau berkata,"Saya tidak akan khotbah lama-lama. Hanya 10 menit. Tapi khotbah saya ini sangat penting buat diri saya dan Anda sekalian. Mohon didengarkan baik-baik karena tidak akan saya ulangi..."
Seluruh jamaah mengangkat kepalanya, memberikan perhatian yang penuh. Mereka pikir, toh cuma 10 menit. Dan khotbahnya bener-benar pada intinya, sangat menyentuh. Buktinya, udah lewat lebih dari 10 tahunan dan saya - salah satu jamaahnya - masih mengingatnya. Mungkin itu sebabnya Gus Mus jadi orang besar. Kyai, penyair, tokoh masyarakat, sekaligus orang biasa.
Mungkin tokoh di awal tadi perlu ketemu Gus Mus. Saya tahu mereka akan langsung akrab, karena keduanya perokok kelas berat...
Dulu saya Islam. Tapi setiap ikut jumatan khotbahnya lama, bikin ngantuk. Lalu pindah agama, tapi di gereja banyak sekali nyanyiannya. Saya gak bisa nyanyi dan malah bingung. Lagipula, saya tidak bisa meninggalkan rokok. Saat ibadah di masjid maupun di gereja, saya tidak boleh merokok. Dan sekarang saya tidak punya agama. Saya merokok kapanpun saya mau. Rasanya kok lebih bebas.
Semua yang mendengar mencoba memberi nasehat, tapi selalu mentok: setahu saya memang mayoritas khotbah di masjid bikin ngantuk. Tapi terus terang saya tidak tahu apa yang terjadi di dalam gereja. Dan faktanya memang tokoh kita ini tidak bisa lepas dari rokok, sejak SD. Rumah ibadah memang tak pernah ramah pada perokok.
Saya tidak sedang membahas perbandingan agama. Juga tak punya maksud tertentu untuk menilai agama tertentu. Saya hanya melihatnya dari sudut pandang universal: ritual ibadah kita terasa kurang 'hidup'. Kurang punya 'ruh'. Kurang mampu membuat jamaahnya inspired. Dan para petinggi keagamaan selalu berdalih, ibadah ya dari dulu begitu. Jangan diubah-ubah, dosa besar. Kafir kamu nanti! Kalau ngantuk itu artinya kamu nggak punya niat. Bukan khotibnya yang salah, khotib ya begitu itu. Namanya juga khotib!
Tapi ketika ada hamba yang imannya terbang seperti itu, tidakkah kita semua - para pemeluk agama apapun - perlu bercermin? Tidakkah kita perlu memikirkan ulang kontekstualitas pesan kita kepada para jamaah sehingga meresap dalam ke dasar hati mereka?
Saya ingat satu khotbah Gus Mus di mesjid Rembang saat Jumatan beberapa tahun yang lalu. Di awal khotbah beliau berkata,"Saya tidak akan khotbah lama-lama. Hanya 10 menit. Tapi khotbah saya ini sangat penting buat diri saya dan Anda sekalian. Mohon didengarkan baik-baik karena tidak akan saya ulangi..."
Seluruh jamaah mengangkat kepalanya, memberikan perhatian yang penuh. Mereka pikir, toh cuma 10 menit. Dan khotbahnya bener-benar pada intinya, sangat menyentuh. Buktinya, udah lewat lebih dari 10 tahunan dan saya - salah satu jamaahnya - masih mengingatnya. Mungkin itu sebabnya Gus Mus jadi orang besar. Kyai, penyair, tokoh masyarakat, sekaligus orang biasa.
Mungkin tokoh di awal tadi perlu ketemu Gus Mus. Saya tahu mereka akan langsung akrab, karena keduanya perokok kelas berat...
Comments
hihihi..pokoknya jangan merokok deh kalo bisa..bakar duit sekaligus meracuni diri sendiri.
hhehe..baru kenal langsung kotbah ya aku..
salam kenal, blognya bagus...
Saya bahagia berteman dengan mereka, tanpa perlu harus melarang ini itu atau ikut arus.. Saya bahagia menjadi diri saya sendiri, tapi tak merasa asing diantara mereka.
Saya percaya tak ada orang yang 100% jahat, bahkan para perokokpun sebenernya ingin berhenti.. Mereka hanya perlu teman untuk berbagi.
Salam kenal juga Mbak, makasih dah mampir :)