Pada 23 Desember 2009 lalu saya pernah tuliskan sebuah kisah nyata tentang seorang pelamar CPNS yg tidak lolos seleksi karena tidak mau membayar 70-100 jt rupiah sebagai 'syarat'nya. Selengkapnya silakan baca lagi di sini.
Saat saya menulisnya, yang ada adalah duka cita dan ketidakpuasan dari pelakunya karena hajatnya tidak terkabul meskipun dia 'merasa' telah beribadah yang cukup pada Allah dan menempuh jalan yang lurus untuk mewujudkan harapannya jadi PNS.
Saya kutipkan lagi sms saya ketika dia memberi kabar bahwa dia tidak diterima, ketika sedang galau dan merasa saran saya tidak berguna sama sekali: amal shalih yang dikerjakannya gak tembus, gak berfaedah, tumpul tidak berguna. Sedekahnya ke panti asuhan, bayarin anak orang lain sekolah, ber-qurban dengan jumlah sekitar 7 juta rupiah seolah 'menguap'.
Begini bunyi sms saya waktu itu: Dijalani saja ujiannya dengan sabar. Sholatnya ditambah, sedekahnya ditambah, doanya ditambah. Lebih baik pake jalan lurus tapi tidak diterima PNS daripada diterima jadi PNS tapi diawali dengan dosa. Jalan benar biasanya tidak mudah. Tapi Allah tidak tidur, Allah akan berikan ganti yang lebih baik jika kita khusnudzon & istiqomah di jalan-Nya...
Dia yang menerima sms ini mungkin berfikir: lhaaah, ini mah sama aja sama sarannya kemarin. Udah dijalanin semua ikhtiarnya ke Allah dengan sholat, puasa, sedekah tapi hasilnya nehi, nol, gak kabul. Ini udah tidak diterima jadi PNS masih harus nglanjutin lagi ikhtiarnya? Please deh, Mas... Malaikat aja kali yang bisa!
Sekitar dua minggu setelah pengumuman ketidaklulusan itu, hp saya berdering, sebuah suara di ujung telpon menyapa,"Mas, lagi di Jogja atau di Jakarta? Aku mau minta tolong nih, boleh ngrepotin dicariin laptop gak ya. Suamiku butuh nih buat nulis-nulis, soale komputer satunya lagi agak ngadat."
Saya jawab,"Laptop yang gimana kira-kira?"
Penelpon,"Yang bagus lah, sekitar 5-6 jutaan gitu.."
Saya,"Tumben, biasanya suka cari yang murah. Lagi banyak duit?"
Penelpon,"Alhamdulillah kemarin suamiku dapat rejeki dari saudaranya.."
Saya,"Alhamdulillah..."
Penelpon,"70 juta rupiah, Mas.."
Subhanallah!
Saya terdiam setelah itu dan menyadari bahwa kisah ini bukan ditujukan untuk sang penelpon tapi buat saya. Allah seolah menyampaikan kepada saya: Aku tak pernah mengingkari janji-Ku. Takkan pernah. Jikapun kamu tidak yakin, jikapun kamu tidak percaya, jikapun kamu bingung, gundah gulana, cemas, khawatir: ikutilah jalan-Ku maka akan selamat. Pasti selamat.
Saya pun membelikan titipannya sebuah laptop HP Compaq seharga 4,6 jt. Saya sampaikan sendiri kepada suaminya ketika janjian ketemu di Semarang.
Allahu Akbar!
Yang saya tahu belakangan adalah suaminya itu yang ridho untuk mendukung istrinya menempuh jalan-jalan halal dalam mewujudkan harapannya jadi PNS. Saat istrinya tidak diterima, ia pun hadir terus mendampingi agar berkurang perasaan su'udzon-nya sama Allah. Sehingga ibadah itu terus berlanjut meskipun hati manusiawinya kecewa dan sedih. Dan ketika Allah tidak kabulkan doanya jadi PNS, Allah ganti 7 juta sedekah dan amal shalihnya dengan 70 juta rupiah dan keberkahan rejeki yang mengiringinya. Keberkahan inilah yang sungguh penting karena tanpa keberkahan, 70 juta itu tak ada harganya jika Allah bukan yang meridloi.
Dan ikhtiar ini berlanjut, tidak berhenti sampai di situ saja. Ketika dia mendengar kabar orang tuanya ingin pergi haji, dengan uang yang masih ada dia pun membantu. Seperti saya, dia pun tak bisa memastikan apa yang akan diberikan Allah sebagai ganti-Nya. Tapi dia tidak peduli, tugas hamba Allah adalah berikhtiar salah satunya dengan berbagi. Allah pasti ganti, baik kita minta ganti ataupun tidak. Allah pasti ganti, baik kita dituduh orang lain gak ikhlas karena pamrih. Ikhlas itu hanya berharap sama Allah, bukan selain-Nya.
Hukum berbagi persis dengan hukum gravitasi. Anda lemparkan batu dari lantai 3 ke bawah, batu itu akan turun sampai lantai dasar tidak peduli apakah Anda berharap atau tidak. Tak peduli apakah anda percaya dan paham hukum gravitasi atau tidak. Berbagi (giving) juga begitu. Kita lepaskan saja yang terbaik dari kita, hukum Allah akan memprosesnya dengan sempurna. Sesungguhnya semua bisnis, usaha, perdagangan, perniagaan berpotensi rugi, kecuali jika berniaga dengan Allah.
Saya tahu persis cerita ini karena yang saya ceritakan dari awal dulu itu - sengaja saya samarkan awalnya - adalah adik kandung saya.
Semoga Allah jauhkan saya dari penyakit riya', sejauh-jauhnya. Ini saya ceritakan agar menjadi peringatan sekaligus pelipur lara buat yang masih punya banyak masalah, masih diuji Allah untuk lebih sabar, masih disempitkan rejekinya.
Saya pun termasuk golongan yang masih diberikan Allah kesempatan untuk memecahkan masalah-masalah hidup saya sendiri, Alhamdulillah. Kadang saya ragu, kadang cemas, kadang kuatir, tapi seperti saran saya pada adik saya: saya jalan terus, saya ikhtiar terus, saya tempuh terus jalan lurus ini meskipun secara manusiawi tidaklah mudah.
Semoga Allah berkahi Anda semua yang membaca tulisan ini dengan keberkahan rejeki yang melimpah, yang mendatangi Anda semua dari arah yang tak terduga-duga. Amien amien amien ya Robbal 'Alamien...
Saat saya menulisnya, yang ada adalah duka cita dan ketidakpuasan dari pelakunya karena hajatnya tidak terkabul meskipun dia 'merasa' telah beribadah yang cukup pada Allah dan menempuh jalan yang lurus untuk mewujudkan harapannya jadi PNS.
Saya kutipkan lagi sms saya ketika dia memberi kabar bahwa dia tidak diterima, ketika sedang galau dan merasa saran saya tidak berguna sama sekali: amal shalih yang dikerjakannya gak tembus, gak berfaedah, tumpul tidak berguna. Sedekahnya ke panti asuhan, bayarin anak orang lain sekolah, ber-qurban dengan jumlah sekitar 7 juta rupiah seolah 'menguap'.
Begini bunyi sms saya waktu itu: Dijalani saja ujiannya dengan sabar. Sholatnya ditambah, sedekahnya ditambah, doanya ditambah. Lebih baik pake jalan lurus tapi tidak diterima PNS daripada diterima jadi PNS tapi diawali dengan dosa. Jalan benar biasanya tidak mudah. Tapi Allah tidak tidur, Allah akan berikan ganti yang lebih baik jika kita khusnudzon & istiqomah di jalan-Nya...
Dia yang menerima sms ini mungkin berfikir: lhaaah, ini mah sama aja sama sarannya kemarin. Udah dijalanin semua ikhtiarnya ke Allah dengan sholat, puasa, sedekah tapi hasilnya nehi, nol, gak kabul. Ini udah tidak diterima jadi PNS masih harus nglanjutin lagi ikhtiarnya? Please deh, Mas... Malaikat aja kali yang bisa!
Sekitar dua minggu setelah pengumuman ketidaklulusan itu, hp saya berdering, sebuah suara di ujung telpon menyapa,"Mas, lagi di Jogja atau di Jakarta? Aku mau minta tolong nih, boleh ngrepotin dicariin laptop gak ya. Suamiku butuh nih buat nulis-nulis, soale komputer satunya lagi agak ngadat."
Saya jawab,"Laptop yang gimana kira-kira?"
Penelpon,"Yang bagus lah, sekitar 5-6 jutaan gitu.."
Saya,"Tumben, biasanya suka cari yang murah. Lagi banyak duit?"
Penelpon,"Alhamdulillah kemarin suamiku dapat rejeki dari saudaranya.."
Saya,"Alhamdulillah..."
Penelpon,"70 juta rupiah, Mas.."
Subhanallah!
Saya terdiam setelah itu dan menyadari bahwa kisah ini bukan ditujukan untuk sang penelpon tapi buat saya. Allah seolah menyampaikan kepada saya: Aku tak pernah mengingkari janji-Ku. Takkan pernah. Jikapun kamu tidak yakin, jikapun kamu tidak percaya, jikapun kamu bingung, gundah gulana, cemas, khawatir: ikutilah jalan-Ku maka akan selamat. Pasti selamat.
Saya pun membelikan titipannya sebuah laptop HP Compaq seharga 4,6 jt. Saya sampaikan sendiri kepada suaminya ketika janjian ketemu di Semarang.
Allahu Akbar!
Yang saya tahu belakangan adalah suaminya itu yang ridho untuk mendukung istrinya menempuh jalan-jalan halal dalam mewujudkan harapannya jadi PNS. Saat istrinya tidak diterima, ia pun hadir terus mendampingi agar berkurang perasaan su'udzon-nya sama Allah. Sehingga ibadah itu terus berlanjut meskipun hati manusiawinya kecewa dan sedih. Dan ketika Allah tidak kabulkan doanya jadi PNS, Allah ganti 7 juta sedekah dan amal shalihnya dengan 70 juta rupiah dan keberkahan rejeki yang mengiringinya. Keberkahan inilah yang sungguh penting karena tanpa keberkahan, 70 juta itu tak ada harganya jika Allah bukan yang meridloi.
Dan ikhtiar ini berlanjut, tidak berhenti sampai di situ saja. Ketika dia mendengar kabar orang tuanya ingin pergi haji, dengan uang yang masih ada dia pun membantu. Seperti saya, dia pun tak bisa memastikan apa yang akan diberikan Allah sebagai ganti-Nya. Tapi dia tidak peduli, tugas hamba Allah adalah berikhtiar salah satunya dengan berbagi. Allah pasti ganti, baik kita minta ganti ataupun tidak. Allah pasti ganti, baik kita dituduh orang lain gak ikhlas karena pamrih. Ikhlas itu hanya berharap sama Allah, bukan selain-Nya.
Hukum berbagi persis dengan hukum gravitasi. Anda lemparkan batu dari lantai 3 ke bawah, batu itu akan turun sampai lantai dasar tidak peduli apakah Anda berharap atau tidak. Tak peduli apakah anda percaya dan paham hukum gravitasi atau tidak. Berbagi (giving) juga begitu. Kita lepaskan saja yang terbaik dari kita, hukum Allah akan memprosesnya dengan sempurna. Sesungguhnya semua bisnis, usaha, perdagangan, perniagaan berpotensi rugi, kecuali jika berniaga dengan Allah.
Saya tahu persis cerita ini karena yang saya ceritakan dari awal dulu itu - sengaja saya samarkan awalnya - adalah adik kandung saya.
Semoga Allah jauhkan saya dari penyakit riya', sejauh-jauhnya. Ini saya ceritakan agar menjadi peringatan sekaligus pelipur lara buat yang masih punya banyak masalah, masih diuji Allah untuk lebih sabar, masih disempitkan rejekinya.
Saya pun termasuk golongan yang masih diberikan Allah kesempatan untuk memecahkan masalah-masalah hidup saya sendiri, Alhamdulillah. Kadang saya ragu, kadang cemas, kadang kuatir, tapi seperti saran saya pada adik saya: saya jalan terus, saya ikhtiar terus, saya tempuh terus jalan lurus ini meskipun secara manusiawi tidaklah mudah.
Semoga Allah berkahi Anda semua yang membaca tulisan ini dengan keberkahan rejeki yang melimpah, yang mendatangi Anda semua dari arah yang tak terduga-duga. Amien amien amien ya Robbal 'Alamien...
Comments