Rasanya pertanyaan kapan mulai dan berakhirnya musim hujan, sudah tak relevan lagi. Kapan pancarobanya juga udah obsolete. Ramalan cuaca sama tidak bergunanya. Dulu waktu belajar geografi di sekolah, sudah ada bulan-bulan tertentu kapan jadual musim penghujan tiba kapan musim kemaraunya, di antara itu ada musim pancarobanya. Lalu waktu masih di Pertanian UGM, saya juga belajar bagaimana menggunakan alat peramal cuaca. Saya tidak tahu apakah ilmu geografi bisa mengimbangi kerusakan bumi akibat global warming dan kecanggihan para pawang hujan memindahkan awan-awan dan jadual hujannya.
Bumi makin tak bisa diprediksi, ilmu pengetahuan makin tidak konstekstual, bencana makin besar ancamannya, biaya untuk menjalani hidup aman yang biasa-biasa saja rasanya makin mahal saja.
Dulu waktu masih kecil, hujan-hujan seharian badan saya selalu baik-baik saja, tapi sekarang langsung rombongan penyakit ikut saat air hujan mengguyur. Mungkin karena saya yang semakin tua atau bisa jadi lantaran air hujan tak lagi murni: polusi, limbah asap dan jenis-jenis gas kimia yang aneh-aneh sudah terlarut di dalamnya.
Lha terus gimana dunk jika udah begini? Saya juga belum tahu persis sebaiknya bagaimana. Karena tadipun saya melewati sebuah jembatan dengan sungai di bawahnya. Ada papan keluaran instansi pemerintah berbunyi: Kaline Resik, Uripe Dadi Becik (Sungainya Bersih, Hidup Jadi Baik) dan waktu saya tengok ke bawah: itu sampah menumpuk tepat di bawah papan nama peringatannya.
Jika kita keras kepala saat alam sekitar masih memberikan toleransinya dan mengabaikan dengan sadar peringatan-peringatan alamiah macam hujan salah musim, cuaca panas yang dilawan dengan AC yang mengeluarkan freon sehingga membuat udara di luar makin panas, mudahnya membuang sampah di sungai padahal tahu persis akibat buruknya: maka waktu buat alam untuk mulai menagih kita membayar hutang takkan lama.
Hari ini kita masih bisa melihat berita banjir di TV dengan segelas kopi panas di rumah yang berlapis karpet tebal hangat, kita masih bisa terharu melihat 220 juta rakyat Haiti meninggal karena gempa, kita masih bisa menyeduh popmie sambil meng-klik berita di internet tentang angin ribut, badai tropis, orang disambar petir.. Tapi sampai kapan wilayah 'aman' itu akan kita nikmati? Sampai kapan tiba gilirannya kita berteriak-teriak kedinginan minta tolong sambil disorot kamera jadi bahan berita siaran langsung televisi nasional?
Sementara bencana sudah mengetuk di depan pintu rumah kita pelan-pelan, kita dengar bunyinya tapi kita cuekin. Kita memilih bodoh dengan sengaja, yang penting rumah bersih sampahnya numpuk gak papa yang penting bukan di halaman rumah kita, ruangan dingin sejuk nyaman sementara di luar panasnya bisa membuat telur ayam matang.
Tulisan ini sesungguhnya lebih banyak saya tujukan buat diri saya sendiri, agar tak terperosok pada bencana yang kita undang dengan sadar. Menyadarkan diri sendiri itu jauh lebih sulit daripada bikin tulisan berlembar-lembar. Apalagi menyadarkan orang lain, aduh!!! Menteri Lingkungan Hidup aja belum tentu bisa, jadi ya monggo jadikan igauan ini sebagai cermin saja. Moga-moga bencana tak terjadi, jika terjadi juga ya mungkin sudah kasep (terlambat).
Tapi janji lho jangan nyalahin siapa-siapa ya, toh kita-kita juga penyebabnya kan?
Comments