Skip to main content

Preview Bab 1: Pulang


21 April 1997

Saat saya masih kecil, rasanya kenikmatan tertinggi sebagai anak sekolah adalah saat bisa pulang pagi karena bapak ibu guru ada rapat, ada pertemuan atau acara apapun sehingga tidak ada pelajaran. Sekolah Dasar yang biasanya selesai jam 12.00 dimajukan pulangnya jadi jam 10.00. Hanya 2 jam diskonnya, tapi bersama teman-teman saya langsung menyusun acara mau ngapain aja: maen bola, maen petakumpet atau perang-perangan. Indahnya tak terbayangkan!

Saat beranjak dewasa, mendapatkan free time karena jadual acara yang ditunda atau dibatalkan kadang masih membuat saya gembira, meskipun mungkin tak bisa lepas seperti saat masih kanak-kanak. Resiko manusia yang beranjak tua adalah mulai didatangi masalah-masalah kehidupan, yang membuat hidupnya tak lepas lagi. Jika tertawa tak bisa sepenuhnya, jika pengin nangispun – demi gengsi – sebisa mungkin tak terdengar suaranya.

Tapi saat-saat beban hidup menghimpit, saat pekerjaan meremukkan otak dan tulang, saat pandangan atas masa depan mulai pating blasur (baca: semrawut), menjadi kanak-kanak kembali adalah pilihan terbaik. Mentertawakan beban hidup, bermain sepenuh hati, menjadi diri sendiri.

Resiko manusia yang beranjak tua adalah mulai didatangi masalah-masalah kehidupan, yang membuat hidupnya tak lepas lagi. 


Saat-saat itu betapa saya merindukan pulang. Seperti saat pelajaran yang meletihkan di kelas usai, membayangkan ibu di rumah memasak makan siang kesukaan saya, membayangkan berkaos singlet bercelana pendek menenteng bola plastik di lapangan hijau, melepaskan semua penat di masa lalu sehingga ringan menjelajahi masa depan.

Saat keruwetan hidup menyeret kita ke wilayah asing sehingga akal dan hati kita tersesat: cara terbaik untuk mengendalikan lagi hidup kita seringkali sesederhana menyusuri kembali jalan pulang.

Comments

Ali Masadi said…
home sweet home..

Popular posts from this blog

Dari Google Untuk Indonesia

Jika Google aja peduli untuk mengingatkan kita semua bahwa hari ini - 17 Agustus 2009 - bangsa besar ini sedang merayakan hari kemerdekaannya, apa bentuk kepedulian kita pada kemerdekaan kita sendiri? Tidak usah buru-buru menjawab. Mari kita lihat di cermin masing-masing, apakah sebentuk sosok yang nampak di hadapan kita itu sudah cukup berbuat untuk bangsanya sendiri, untuk sebuah kata yang membuat kita takjub: INDONESIA. Yang sudah terlanjur ya sudah. Saatnya menatap tajam ke depan, menunjukkan pada dunia sebuah pekik yang takkan tertelan oleh jaman, yang akan bergema 1000 tahun bahkan lebih lama lagi: MERDEKA! Lalu kita wujudkan pekik itu dalam gerak hidup kita selanjutnya. Dengan kemandirian dan keberanian. Jangan lagi kita mempermalukan para pendahulu kita, para pejuang yang gagah berani mengusir penjajah.  Kemerdekaan bukanlah akhir perjuangan. Kemerdekaan justru awal bagi perjalanan Indonesia untuk menjadi bangsa yang besar, yang kita banggakan bersama.

Jadual Diskusi dan Bedah Buku

Berikut beberapa jadual diskusi, talk show atau bedah buku yang udah masuk di Bulan Ramadhan (September) sekaligus menjawab beberapa imel yang menanyakan ke saya kapan ada diskusi buku Jualan Ide Segar: Bedah Buku Jualan Ide Segar (M. Arief Budiman) dan Mata Hati Iklan Indonesia (Sumbo Tinarbuko) di Diskomvis FSR ISI Yogyakarta. Kamis, 11 September 2008 jam 15.00 - 18.00 WIB. Juga menampilkan Sujud Dartanto sebagai pembahas. Untuk Mahasiswa ISI Jogja dan Umum (Free) Ngopi Bareng Penjual Ide Segar di Melting Pot, Sabtu, 13 September 2008, 20.00 - 22.00 WIB, Untuk Umum HTM Rp 15.000,- (Free 1 cup Coffee) Sarasehan Keajaiban Berbisnis Ide di ADVY (Akademi Desain Visi Yogyakarta), Senin, 15 September 2008, 09.00 - 12.00 WIB, untuk Mahasiswa ADVY (Free) Yang segera menyusul adalah Diskusi dan Bedah Buku di Jurusan Komunikasi UGM, semoga juga bisa terlaksana di Bulan September ini. Buat temen-temen silakan hadir untuk meramaikan proses belajar kreatif yang tentu saja sangat fun dan menyena...

Filosofi Ember

Mengapa kita yang telah bekerja keras dari pagi buta sebelum subuh sampai lepas Isya' bahkan larut malam sampe rumah, tapi rezeki tetep seret? Mengapa kita telah membanting tulang sampai capek-capek pegal tapi ATM  tetap kosong dan tiap tengah bulan keuangan masih minus? Mengapa uang yang puluhan tahun kita kumpulkan sedikit demi sedikit tiba-tiba habis tandas didongkel maling saat kita pergi? Mengapa kita sakit-sakitan tak kunjung sembuh? Mengapa hidup ini makin lama makin sulit kita jalani dan rasa-rasanya kebahagiaan itu cuma milik orang lain dan bukan kita? Saya mengalami sendiri sulitnya mencari jawaban, saat pertanyaan di atas tak sekedar memenuhi kepala saya tapi menyatu dalam setiap tarikan nafas saya. Rasa bingung itu, capek itu, gelapnya perasaan saat membentur dinding yang tebal dan tinggi, sesak nafas saat masalah-masalah memuncak. Pencarian itu membawa saya pada sebuah benda: ember .  Ember? Kok? Bagaimana bisa ember menjawab persoalan seb...