Beberapa kali dalam perjalanan saya ke luar kota, saya seringkali harus kecewa ketika ingin mengerjakan sholat ternyata masjidnya tutup. Beberapa di Jogja, di Ambarawa, Jakarta, juga di kota-kota lainnya. Banyak masjid di negeri ini yang hanya buka saat-saat jam sholat wajib saja alias 5 kali sehari. Setelah jam 19.30 usai sholat Isya’ masjid pun tutup. Setelah usai sholat subuh jam 05.30 masjidpun tutup dan baru dibuka kembali saat dhuhur jam 11.45.
Sayapun masygul. Banyak khotib dan ustadz yang mengingatkan pentingnya sholat tahajjud dan sholat dhuha, tapi banyak pula masjid yang menutup pintunya bahkan sampai tempat wudlunya sehingga praktis kita tak bisa sholat meskipun di emperan masjid karena tidak bisa berwudlu. Dan masjid yang tutup begini tak cuma masjid kecil tapi juga masjid yang lumayan besar. Alasannya mungkin klasik, karena tak ada penjaganya maka masjid takut kemalingan sehingga semua dikunci. Atau untuk menghindari jamaah yang suka tidur sembarangan di masjid.
Sebenarnya akan lebih bijak jika barang-barang berharga disimpan di ruang khusus takmir atau penjaga, sehingga masjid dan tempat wudlu tetap bisa diakses 24 jam oleh jamaah. Saya pun percaya bahwa pencuri speaker mesjid, kotak amal atau sajadah ya masih ada di jaman sekarang. Dan kemungkinan mereka juga saudara-saudara kita sesama muslim. Tapi masa' kita mengurangi hak jamaah untuk menghadap Allah hanya karena kecurigaan pada kemungkinan terjadinya pencurian semata? Bukankah jika kita khusyuk mengikuti perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, Ia akan menjaga rumah-Nya dari kemungkinan keburukan yang akan hadir seperti pencurian kelas teri itu?
Dan kalaupun ada jamaah yang tidur, bisa diingatkan. Toh sebagai rumah Allah, sebaiknya masjid juga welcome jika ada hamba Allah dari luar kota yang kemalaman dan bingung mencari tempat beristirahat tetapi tak punya bekal cukup untuk membayar penginapan yang layak. Bukankah menolong hamba yang kesulitan juga salah satu amal ibadah yang Islam sangat menganjurkan? Tapi mengapa masjid menutup pintu saat ada hamba yang menggigil kedinginan di tengah malam?
Tapi saat waktu sholat jamaah, memang tak boleh ada yang tidur atau tidur-tiduran. Semua yang di masjid sebaiknya jamaah untuk memakmurkan masjid. Umat Islam harus tertib, saya sepenuhya mendukung. Mesjid adalah tempat ibadah, sayapun mengamini.
Di masa kecil saya, saya bahkan dianjurkan oleh santri-santri tetangga saya untuk belajar di masjid sehingga malamnya bisa tahajjud sekalian. Setelah itu, merekapun mengijinkan saya tidur di teras masjid untuk bangun lagi saat jamaah sholat subuh. Setelah itu baru saya akan pulang ke rumah di pagi hari untuk berangkat ke sekolah. Betapa indahnya masa-masa itu, dan betapa saya merasa masjidlah tempat saya bersandar saat saya membutuhkan keteduhan dan ketenangan untuk berfikir, untuk belajar.
Dan karena masjid juga selayaknya memancarkan cahaya rahmatan lil 'alamin: maka seharusnya ia terbuka buat siapapun yang memerlukannya, 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Setiap jamaah - baik kaya raya maupun gembel - berhak memasuki pintunya untuk menghadapkan wajah kepada Tuhannya. Masjid tak boleh jadi eksklusif. Masjid harus jadi tempat paling demokratis, menjadi oase di padang pasir tandus kehidupan masyarakat kita yang terus berjuang di tengah makin sulitnya hidup.
Pagi itu saat saya - untuk kesekian kalinya - tidak bisa memasuki tempat wudlu sebuah masjid yang besar untuk sholat dhuha, saya sungguh merasa sedih. Saya pun menyingkir dari rumah Tuhan yang digembok pintunya dan menemukan musholla kecil di sebuah pom bensin. Saya mengadukan ini semua pada-Nya agar tak terulang lagi masa mendatang. Saya tuliskan sekali lagi kesedihan saya ini sebagai upaya saling menasehati dan introspeksi pada diri kita masing-masing sebagai muslim.
Mari kita buka pintu-pintu masjid kita atau tak perlu ada pintunya sekalian. Jika masjid tertutup sampai seorang hamba Tuhan tak bisa memasukinya, saya takut pengelola masjid yang merasa tindakannya benar justru sedang melakukan tindakan yang berdosa tanpa disadarinya...
Sayapun masygul. Banyak khotib dan ustadz yang mengingatkan pentingnya sholat tahajjud dan sholat dhuha, tapi banyak pula masjid yang menutup pintunya bahkan sampai tempat wudlunya sehingga praktis kita tak bisa sholat meskipun di emperan masjid karena tidak bisa berwudlu. Dan masjid yang tutup begini tak cuma masjid kecil tapi juga masjid yang lumayan besar. Alasannya mungkin klasik, karena tak ada penjaganya maka masjid takut kemalingan sehingga semua dikunci. Atau untuk menghindari jamaah yang suka tidur sembarangan di masjid.
Sebenarnya akan lebih bijak jika barang-barang berharga disimpan di ruang khusus takmir atau penjaga, sehingga masjid dan tempat wudlu tetap bisa diakses 24 jam oleh jamaah. Saya pun percaya bahwa pencuri speaker mesjid, kotak amal atau sajadah ya masih ada di jaman sekarang. Dan kemungkinan mereka juga saudara-saudara kita sesama muslim. Tapi masa' kita mengurangi hak jamaah untuk menghadap Allah hanya karena kecurigaan pada kemungkinan terjadinya pencurian semata? Bukankah jika kita khusyuk mengikuti perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, Ia akan menjaga rumah-Nya dari kemungkinan keburukan yang akan hadir seperti pencurian kelas teri itu?
Dan kalaupun ada jamaah yang tidur, bisa diingatkan. Toh sebagai rumah Allah, sebaiknya masjid juga welcome jika ada hamba Allah dari luar kota yang kemalaman dan bingung mencari tempat beristirahat tetapi tak punya bekal cukup untuk membayar penginapan yang layak. Bukankah menolong hamba yang kesulitan juga salah satu amal ibadah yang Islam sangat menganjurkan? Tapi mengapa masjid menutup pintu saat ada hamba yang menggigil kedinginan di tengah malam?
Tapi saat waktu sholat jamaah, memang tak boleh ada yang tidur atau tidur-tiduran. Semua yang di masjid sebaiknya jamaah untuk memakmurkan masjid. Umat Islam harus tertib, saya sepenuhya mendukung. Mesjid adalah tempat ibadah, sayapun mengamini.
Di masa kecil saya, saya bahkan dianjurkan oleh santri-santri tetangga saya untuk belajar di masjid sehingga malamnya bisa tahajjud sekalian. Setelah itu, merekapun mengijinkan saya tidur di teras masjid untuk bangun lagi saat jamaah sholat subuh. Setelah itu baru saya akan pulang ke rumah di pagi hari untuk berangkat ke sekolah. Betapa indahnya masa-masa itu, dan betapa saya merasa masjidlah tempat saya bersandar saat saya membutuhkan keteduhan dan ketenangan untuk berfikir, untuk belajar.
Dan karena masjid juga selayaknya memancarkan cahaya rahmatan lil 'alamin: maka seharusnya ia terbuka buat siapapun yang memerlukannya, 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Setiap jamaah - baik kaya raya maupun gembel - berhak memasuki pintunya untuk menghadapkan wajah kepada Tuhannya. Masjid tak boleh jadi eksklusif. Masjid harus jadi tempat paling demokratis, menjadi oase di padang pasir tandus kehidupan masyarakat kita yang terus berjuang di tengah makin sulitnya hidup.
Pagi itu saat saya - untuk kesekian kalinya - tidak bisa memasuki tempat wudlu sebuah masjid yang besar untuk sholat dhuha, saya sungguh merasa sedih. Saya pun menyingkir dari rumah Tuhan yang digembok pintunya dan menemukan musholla kecil di sebuah pom bensin. Saya mengadukan ini semua pada-Nya agar tak terulang lagi masa mendatang. Saya tuliskan sekali lagi kesedihan saya ini sebagai upaya saling menasehati dan introspeksi pada diri kita masing-masing sebagai muslim.
Mari kita buka pintu-pintu masjid kita atau tak perlu ada pintunya sekalian. Jika masjid tertutup sampai seorang hamba Tuhan tak bisa memasukinya, saya takut pengelola masjid yang merasa tindakannya benar justru sedang melakukan tindakan yang berdosa tanpa disadarinya...
Comments
bangunan makin bagus
makin susah ngurus
amannya dibuka pada jam2 khusus.
tapi melihat situasi yang berbeda dengan jaman dulu, kita bisa bilang apa lagi.