Saat ini saya sedang membaca sebuah buku yang sangat inspiratif. Untuk belajar bagaimana membangun perusahaan, biasanya saya memilih buku-buku dengan penulis para praktisi bukan akademis. Lebih dekat, tidak mengawang. Tidak berbelit-belit alias teori doang. Buku ini pas banget dengan sudut pandang saya: ringkas, tanpa tedeng aling-aling, langsung bercermin pada realitas.
Judulnya: Never Ending Journey, tentang seorang entrepreneur bernama Buntoro yang awalnya jatuh bangun membesarkan perusahaannya PT. Mega Andalan Kalasan. Pada tahun 2004 perusahaan ini tercatat sebagai urutan 2 dalam Enterprise 50 (untuk perusahaan omzet di atas 10 milliar) pilihan Majalah Swa. Sebuah prestasi yang membanggakan, terutama karena sekitar tahun 1987 badai menerpa usaha awal mereka yang memproduksi bumper mobil.
Badai – yang jika tidak dihadapi dengan keras hati – akan meniadakan perjalanan ke tahap berikutnya. Badai yang cukup untuk menutup sebuah usaha. Mengubur mimpi dan masa depan. Badai yang akan membuat ciut nyali setiap pengusaha, tapi tidak mampu menghentikan Buntoro untuk terus melangkah.
Industri awal berupa bumper mobil yang sedang laris-larisnya, mendadak terjun bebas ketika ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merk) otomotif nasional mengeluarkan produk mobil yang full pressed body dengan bumper yang melekat langsung.
Tidak mudah menyelamatkan perusahaan dari titik minus, ketika hutang lebih besar dari piutang bahkan lebih besar dari aset. Bersama Hendy Rianto, Buntoropun menyiapkan usaha penyelamatan. Alasannya sederhana: harus ada yang bertanggung jawab. Buntoro bahkan bersedia melepaskan saham kepemilikan kepada pihak ketiga. Beberapa calon investor sempat datang ke Kalasan, tapi deal tak pernah terjadi. Besarnya permasalahan membuat mereka mundur teratur.
Tapi putus asa bukan pilihan, berawal dari kesediaan mengerjakan apa saja asal bisa hidup, pikiran Buntoro sampai pada pilihan memproduksi peralatan rumah sakit (hospital equipment). Berawal dari tempat tidur, tempat tidur operasi sampai kursi roda. Lalu bagaikan bola salju yang bergulir: orderpun datang dari rumah sakit kecil sampai rumah sakit besar yang mencapai ratusan pesanan. Cash flow mulai bergerak positif.
Dari sekedar bengkel biasa, pola operasional produksipun mengarah ke industrialisasi uantuk menyesuaikan diri dengan tuntutan konsumen. Dan berikutnya, perusahaan sekarat inipun mulai bisa tersenyum dan bahkan siap ngebut di jalan tol industri.
Dan lahirlah Prambanan Technopark: sebuah kawasan industri seluas 4.968 m2 di daerah Prambanan yang merupakan obsesi berikutnya dari seorang Buntoro yang mulai meningkatkan kemampuannya dengan memproduksi mesin, bahkan sedang berancang-ancang masuk industri otomotif. Masa gelap telah berganti, meskipun Buntoro menikmatinya dengan tingkat kewaspadaan tinggi. Dalam hidup ini tak ada makan siang gratis. Kesuksesan tak akan langgeng, keculai kita selalu waspada. Only the paranoid survive, kata Andy Groove (mantan CEO Intel).
Buku setebal 200 halaman yang ditulis Teguh Sri Pambudi (Redaktur Majalah SWA) ini menjelaskan detail bagaimana melaksanakan upaya penyelamatan, dari recovery sampai melakukan turnover mengubah titik minus menjadi surplus. Bisnis yang dibangun dengan kemandirian selalu menarik dijadikan cerita, juga pelajaran bagaimana menjalani hidup dengan besar hati, tak mudah patah arang.
Buntoro dan seluruh keluarga besar PT. Mega Andalan Kalasan telah membuktikan itu. Mereka sedang menantang diri untuk menuju milestone berikutnya. Akankah mereka meraih kesuksesan yang lebih besar lagi? Demi kemajuan industri Indonesia yang masih terpuruk saat mobil Proton bikinan Malaysia justru mulai merambah Asia, tentu kita layak berharap pada sosok tangguh seperti Buntoro.
Judulnya: Never Ending Journey, tentang seorang entrepreneur bernama Buntoro yang awalnya jatuh bangun membesarkan perusahaannya PT. Mega Andalan Kalasan. Pada tahun 2004 perusahaan ini tercatat sebagai urutan 2 dalam Enterprise 50 (untuk perusahaan omzet di atas 10 milliar) pilihan Majalah Swa. Sebuah prestasi yang membanggakan, terutama karena sekitar tahun 1987 badai menerpa usaha awal mereka yang memproduksi bumper mobil.
Badai – yang jika tidak dihadapi dengan keras hati – akan meniadakan perjalanan ke tahap berikutnya. Badai yang cukup untuk menutup sebuah usaha. Mengubur mimpi dan masa depan. Badai yang akan membuat ciut nyali setiap pengusaha, tapi tidak mampu menghentikan Buntoro untuk terus melangkah.
Industri awal berupa bumper mobil yang sedang laris-larisnya, mendadak terjun bebas ketika ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merk) otomotif nasional mengeluarkan produk mobil yang full pressed body dengan bumper yang melekat langsung.
Tidak mudah menyelamatkan perusahaan dari titik minus, ketika hutang lebih besar dari piutang bahkan lebih besar dari aset. Bersama Hendy Rianto, Buntoropun menyiapkan usaha penyelamatan. Alasannya sederhana: harus ada yang bertanggung jawab. Buntoro bahkan bersedia melepaskan saham kepemilikan kepada pihak ketiga. Beberapa calon investor sempat datang ke Kalasan, tapi deal tak pernah terjadi. Besarnya permasalahan membuat mereka mundur teratur.
Tapi putus asa bukan pilihan, berawal dari kesediaan mengerjakan apa saja asal bisa hidup, pikiran Buntoro sampai pada pilihan memproduksi peralatan rumah sakit (hospital equipment). Berawal dari tempat tidur, tempat tidur operasi sampai kursi roda. Lalu bagaikan bola salju yang bergulir: orderpun datang dari rumah sakit kecil sampai rumah sakit besar yang mencapai ratusan pesanan. Cash flow mulai bergerak positif.
Dari sekedar bengkel biasa, pola operasional produksipun mengarah ke industrialisasi uantuk menyesuaikan diri dengan tuntutan konsumen. Dan berikutnya, perusahaan sekarat inipun mulai bisa tersenyum dan bahkan siap ngebut di jalan tol industri.
Dan lahirlah Prambanan Technopark: sebuah kawasan industri seluas 4.968 m2 di daerah Prambanan yang merupakan obsesi berikutnya dari seorang Buntoro yang mulai meningkatkan kemampuannya dengan memproduksi mesin, bahkan sedang berancang-ancang masuk industri otomotif. Masa gelap telah berganti, meskipun Buntoro menikmatinya dengan tingkat kewaspadaan tinggi. Dalam hidup ini tak ada makan siang gratis. Kesuksesan tak akan langgeng, keculai kita selalu waspada. Only the paranoid survive, kata Andy Groove (mantan CEO Intel).
Buku setebal 200 halaman yang ditulis Teguh Sri Pambudi (Redaktur Majalah SWA) ini menjelaskan detail bagaimana melaksanakan upaya penyelamatan, dari recovery sampai melakukan turnover mengubah titik minus menjadi surplus. Bisnis yang dibangun dengan kemandirian selalu menarik dijadikan cerita, juga pelajaran bagaimana menjalani hidup dengan besar hati, tak mudah patah arang.
Buntoro dan seluruh keluarga besar PT. Mega Andalan Kalasan telah membuktikan itu. Mereka sedang menantang diri untuk menuju milestone berikutnya. Akankah mereka meraih kesuksesan yang lebih besar lagi? Demi kemajuan industri Indonesia yang masih terpuruk saat mobil Proton bikinan Malaysia justru mulai merambah Asia, tentu kita layak berharap pada sosok tangguh seperti Buntoro.
Cerita tentang kesuksesan PT. Mega Andalan Kalasan ini bukanlah akhir, tapi hanyalah akhir dari sebuah permulaan. Buku inipun dilabeli Vol 1, artinya akan ada volume berikutnya.
Saya akhiri review singkat ini dengan mengutip Paulo Coelho di buku Alkemis: ketika kita menginginkan sesuatu dengan sepenuh hati, seluruh alam semesta akan membantu mewujudkannya.
Comments
saya kenal sama pak boentoro itu... keren lah bliau tuh... kenal jg pasti ya?
salam deh MAK-ers : buat mbak tasha, pak santo, mas nur, mas sis dll hehehe...
waluyohadi