Skip to main content

Tekyan: Balada Anak Jalanan



Yudi Sulistya dan M. Arief Budiman
Balai Pustaka, Cetakan I, 2000





Menggabungkan antara realitas, seni grafis/gambar dan sastra memang bukan hal yang mudah, tapi setidaknya komik bisa menjembatani pertemuan antara seni gambar dan sastra yang berpijak pada suatu realitas sosial. Apa yang coba dilakukan Arief Budiman dan Yudi Sulistya dalam karya komiknya memang patut kita hargai. Mengingat saat ini posisi komik sangat terpinggirkan dan dicap sebagai sesuatu yang tidak serius. Sangat berbeda dengan media kesenian lain seperti film, sastra atau seni lukis.

Membaca komik Tekyan yang merupakan salah satu pemenang sayembara komik Direktorat Kesenian Departemen Pendidikan Nasional tahun 1997/1998, kita disuguhi sebuah potret sosial yang sangat dekat dengan lingkungan kita sehari-hari yaitu tekyan atau anak jalanan. Kehidupan kaum terpinggirkan yang menjadi latar cerita komik ini memang bukan hal yang baru, Garin Nugroho pun pernah mengangkatnya dalam film Daun di Atas Bantal. Namun demikian tema-tema kritik sosial memang bukan tema mainstream di pasaran komik. Melihat pasar komik Indonesia komik-komik yang menjadi top of mind pembaca anak-anak dan remaja seperti Dragon Ball, Conan the Detective, Sailor Moon dll, yang laku keras di pasaran jelas akan sulit untuk digeser oleh komik-komik lokal kita. Boleh jadi komik seperti Tekyan hanya bisa menjadi pilihan komik alternatif dari sisi cerita maupun grafis, yang saat ini didominasi gaya komik Jepang (manga) dan Amerika (Marvel, DC atau Image comics).

Dari sisi cerita, komik ini sebetulnya sangat realis, kisah dua tekyan yang bersahabat, Hamid dan Sarwan digambarkan sebagai anak-anak yang harus menghadapi kerasnya hidup di jalanan. Tokoh sentral komik ini adalah Hamid, anak Kyai yang minggat dari rumah dan bersama Sarwan hidup bersama di jalanan. Karakter Hamid seolah mewakili nilai-nilai kebaikan, meski jadi anak jalanan tidak lupa sholat dan tidak mau mencuri, sangat berbeda dengan Sarwan yang jago mencopet. Kebenaran menjadi relatif, ketika mereka tidak punya pilihan lain untuk bertahan hidup, Sarwan harus mencuri demi membiayai sahabatnya, Hamid yang terluka akibat digebuki polsus.

Kegelisahan terhadap nasib dan ketidakadilan yang dialami para tekyan sering terlontar dalam dialog-dialog antara Hamid dan Sarwan. Hamid yang alim sering dimaki oleh Sarwan, seperti saat mereka berdebat soal uang hasil copetan. "Halal haram itu urusan kyai, bukan tekyan macam kita..." Barangkali sebuah protes terhadap ketertindasan yang harus mereka alami.


Perjalanan dua sahabat ini harus berakhir ketika Sarwan tertangkap oleh petugas. Dengan bantuan Jatmiko, seorang aktifis mahasiswa yang peduli pada mereka, Sarwan dapat ditemukan di sel polisi dalam keadaan babak belur. Akhirnya, Sarwan harus berurusan dengan polisi sementara Hamid dengan uang hasil copetan Sarwan mendaftar ke pesantren.

Alur cerita komik ini sebenarnya biasa saja, tapi cukup enak untuk diikuti. Nilai-nilai ideal yang diwakili oleh Hamid bisa jadi tak seideal kenyataan sebenarnya yang dialami para tekyan. Hidup di jalanan tanpa bimbingan keluarga, bagi anak-anak adalah sebuah mimpi buruk. Karena komik ini adalah hasil sayembara yang diselenggarakan Departeman Pendidikan, kita masih bisa melihat pesan-pesan moral melalui Hamid si anak Kyai yang jadi tekyan. Sementara dari sisi grafis, komik ini cukup bisa menggambarkan suasana, perpindahan adegan antar panel dan sudut pandang yang diambil tidak membosankan. Kejenakaan justru muncul dari olahan grafisnya yang sangat komikal, misalnya sisipan adegan demonstrasi mahasiswa dan ekspresi aparat keamanan saat menghadapi demonstran, atau adegan cicak jatuh di awal cerita sebagai prolog cukup menggelitik. Tanpa olahan grafis yang menarik mungkin komik ini bisa jadi komik drama yang serius dan biasa-biasa saja.

Lepas dari semua itu, mengerjakan sebuah komik memang dibutuhkan kreatifitas, keseriusan dan stamina yang kuat untuk mengolah ide menjadi komik yang menarik.

Ditulis oleh Agung Arif Budiman, Editor Komikaze99.com

Comments

Popular posts from this blog

Kunci Sukses Bisnis (3)

Sempat terjadi dalam periode kehidupan saya saat awal-awal bersama teman-teman memulai Petakumpet, waktu 24 jam sehari rasanya tak cukup. Hari-hari itu begitu melelahkannya, rasanya tak kuat saya menyelesaikan begitu banyak tanggung jawab menyangkut komunitas, pekerjaan, kehidupan persoanl saya yang berantakan. Saya pun mengadu pada Allah,"Ya Allah, jika sehari bisa lebih dari 24 jam rasanya saya akan punya kesempatan lebih banyak untuk menyelesaikan semua tanggung jawab saya..." Tapi rasanya Allah tak mendengar doa saya. Atau saya nya yang tak punya kemampuan mendengarkan-Nya. Pekerjaan seperti nya mengalir tak habis-habis, ada duitnya emang, tapi duit nya pun mengalir lancar keluar tak pernah terpegang barang sebentar. Hidup saya begitu capeknya, badan pegel-pegel tiap malam, Sabtu Minggu pun dihajar pekerjaan. Saat-saat seperti itu, saya melihat buku karangan Stephen Covey The Seven Habits of Highly Effective People di Shopping Center (pusat buku murah) Jogja. Dengan

Jadual Diskusi dan Bedah Buku

Berikut beberapa jadual diskusi, talk show atau bedah buku yang udah masuk di Bulan Ramadhan (September) sekaligus menjawab beberapa imel yang menanyakan ke saya kapan ada diskusi buku Jualan Ide Segar: Bedah Buku Jualan Ide Segar (M. Arief Budiman) dan Mata Hati Iklan Indonesia (Sumbo Tinarbuko) di Diskomvis FSR ISI Yogyakarta. Kamis, 11 September 2008 jam 15.00 - 18.00 WIB. Juga menampilkan Sujud Dartanto sebagai pembahas. Untuk Mahasiswa ISI Jogja dan Umum (Free) Ngopi Bareng Penjual Ide Segar di Melting Pot, Sabtu, 13 September 2008, 20.00 - 22.00 WIB, Untuk Umum HTM Rp 15.000,- (Free 1 cup Coffee) Sarasehan Keajaiban Berbisnis Ide di ADVY (Akademi Desain Visi Yogyakarta), Senin, 15 September 2008, 09.00 - 12.00 WIB, untuk Mahasiswa ADVY (Free) Yang segera menyusul adalah Diskusi dan Bedah Buku di Jurusan Komunikasi UGM, semoga juga bisa terlaksana di Bulan September ini. Buat temen-temen silakan hadir untuk meramaikan proses belajar kreatif yang tentu saja sangat fun dan menyena

Filosofi Ember

Mengapa kita yang telah bekerja keras dari pagi buta sebelum subuh sampai lepas Isya' bahkan larut malam sampe rumah, tapi rezeki tetep seret? Mengapa kita telah membanting tulang sampai capek-capek pegal tapi ATM  tetap kosong dan tiap tengah bulan keuangan masih minus? Mengapa uang yang puluhan tahun kita kumpulkan sedikit demi sedikit tiba-tiba habis tandas didongkel maling saat kita pergi? Mengapa kita sakit-sakitan tak kunjung sembuh? Mengapa hidup ini makin lama makin sulit kita jalani dan rasa-rasanya kebahagiaan itu cuma milik orang lain dan bukan kita? Saya mengalami sendiri sulitnya mencari jawaban, saat pertanyaan di atas tak sekedar memenuhi kepala saya tapi menyatu dalam setiap tarikan nafas saya. Rasa bingung itu, capek itu, gelapnya perasaan saat membentur dinding yang tebal dan tinggi, sesak nafas saat masalah-masalah memuncak. Pencarian itu membawa saya pada sebuah benda: ember .  Ember? Kok? Bagaimana bisa ember menjawab persoalan seberat