Suatu hari - entah nanti atau sebentar lagi - orang seperti saya akan tinggal nama. Dan sejumput cerita.
Keburukan pada beberapa hal yang diceritakan diam-diam di ruang entah dan - ehm - satu dua kebaikan yang disampaikan sebagai sopan santun pergaulan, menghiasi obituary yang serupa iklan baris. Karena ruangnya terbatas sehingga hanya cukup untuk bicara kebaikan yang wajar. Tak boleh berlebihan. Di-take out cerita-cerita tentang cela dan dosa. Karena tak ada ruang tambahan untuk menulisnya.
Agar kematian tak terlalu jadi penyesalan. Dan perpisahan mendapat penghormatan secukupnya. Secukupnya saja, tak bisa lebih banyak, karena urusan kehidupan telah menjadi begitu rumit. Manusia tak bisa dipaku hanya membicarakan kematian.
Roda nasib terus berputar. Otak berfikir, tangan mengetik cepat ke layar dg bgtu byk kt2 sgktn, kaki bergerak mengejar jadual yang berlarian, bibir disenyumkan saat camera on di zoomeeting, telepon berdering dari marketing kartu kredit yang ramah pantang menyerah dan pinjol dengan ribuan nomor yang berganti-ganti.
Seperti gasing manusia berputar-putar. Bergerak maha cepat, tapi tak berpindah kemana-mana. Bepergian ke tempat berawal. Lelah, pusing, remuk, teronggok di pojokan. Ditinggalkan.
Suatu hari, saya akan tinggal nama. Demikian juga setiap yang bernyawa. Dunia ini soal giliran. Lahir, hidup, mati. Tak perlu dibuat dramatis, tak perlu dihebohkan. Kematian adalah kewajaran. Seperti kelahiran, ulang tahun, nikah, pileg, pilkada, pilpres, korupsi, permalingan...
Mari kita rayakan dengan minum kopi. Kuat dilakoni, ikhtiar dilakoni, sampai kopi tandas. Sampai waktu tandas.
Sampai tinggal nama. Sampai tinggal cerita...
Comments