Kemana iklan akan berlabuh di masa depan? Changevertising itu apa? Apa yang perlu diubah?
Kita takkan pernah bisa menggapai
pandangan untuk menjangkau masa depan dengan lebih jernih, jika kita
terus-menerus disibukkan oleh kegiatan membuat iklan yang telah menjelma
rutinitas. Yang telah menjelma riak-riak yang bising tapi kehilangan
kekuatannya sebagai gelombang.
Yang telah menyulap kreativitas sebagai
sekedar komoditi untuk jualan, sebagai ‘sekedar’ tools untuk men-support
penjualan. Melihat fenomena iklan-iklan yang mayoritas berakhir sebagai sampah
visual (fisik maupun psikis), kita tidak saja gagal membuat iklan yang baik (good advertisement). Kita bahkan gagal
melakukan hal-hal untuk kebaikan (doing
good).
Dalam tulisan ini, saya tidak hendak
membahas perubahan periklanan dari sisi teknis. Misalnya: bahwa pemasaran
secara interaktif itu jauh lebih efektif daripada beriklan. Atau bahwa
periklanan yang personal lebih tepat
daripada periklanan yang massive.
Atau bahwa digital dan online media akan memakan kue iklan
lebih rakus daripada offline media
macam surat kabar, billboard, spanduk
dan sebagainya. Fenomena buzzer, augmented reality, pay per click. Atau hal-hal
yang serupa itu.
Image from: http://www.augmentedplanet.com/wp-content/uploads/2010/04/augmented-reality-windscreen.jpg
Karena kita bisa membaca
artikel-artikel tentang itu semua, bertebaran di internet. Fokus saya adalah
pembenahan mindset para pelaku
industri periklanan ini. Untuk diubah. Untuk di-install ulang. Untuk dikoreksi dari kesalahan-kesalahan masa silam.
Ini adalah testimoni saya. Saya mulai
koreksi ini dari diri saya sendiri. Ini menjadi cermin bagi saya dan siapa pun
yang merasakan ketidakberesan proses di industri yang kita cintai ini.
Merebut Ruang Hening
Di jaman yang serba digital ini,
semakin sulit untuk meraih ruang hening, ruang yang terbebas dari intervensi
dan interupsi segala hal yang berhubungan dengan iklan. Yang paling mudah
dirasakan adalah makin sulitnya menjadi fokus dalam menyelesaikan berbagai
tanggung jawab dan tugas-tugas kehidupan. Makin sulit untuk berfikir mendalam,
menuangkan fikiran dengan jernih.
Dunia yang makin mencair ini terus
mengalirkan informasi dan iklan– yang berguna maupun yang sampah – ke seluruh
pelosok negeri bahkan ke sudut-sudut tersembunyi yang gelap di dalam otak kita,
prosesor alami maha dahsyat yang kita perlakukan hanya sebagai tempat
penyimpanan belaka, sekedar harddisk yang sebentar lagi akan penuh isinya,
makin bertambah bad sector-nya dan
lantas hang.
Di dalam keseharian, seolah-olah ada
pasar yang riuh dengan display jutaan
merk yang terus kita bawa kemana-mana tanpa jeda. Membuat otak kita terasa
penuh tapi dengan ketidakjelasan apa saja yang memenuhinya. Kita dihempaskan
gelombang informasi ke kanan, ke kiri, kemanapun yang bukan kita sendiri
penentunya.
Melarikan Diri Entah Kemana
Kelemahan untuk berfokus dan kesulitan
untuk diam tenang berfikir ini, sering membawa kita melakukan pelarian kepada
hal-hal yang sekedar trend sesaat,
isu-isu remeh-temeh yang lagi marak, yang celakanya tak kita pahami substansi
permasalahannya selain sekedar remah-remah informasi yang bersliweran di timeline twitter, status facebook, broadcast message atau gosip ria di
cafe-cafe. Kita memenuhi otak kita dengan sampah informasi yang terus
menggunung tanpa kesadaran untuk membersihkannya, karena sampah informasi itu
tak terlihat.
Tapi sungguh kita pasti bisa
merasakannya. Alarm tanda bahaya itu akan mengirimkan sinyal: sulitnya
menentukan prioritas, tidak bisa berpisah dengan gadget, mudah lupa, bingung mau melakukan apa karena dalam waktu
bersamaan banyak tanggung jawab yang belum diselesaikan, mudah panik, tidak
bisa mengatur waktu, mudah capek, melakukan aktivitas yang kita tidak tahu apa
manfaatnya selain untuk membunuh waktu, meng-install gadget dengan ratusan apps
yang fungsi utamanya hanyalah untuk menghias layar semata atau memenuhi
kereta belanja dengan belanjaan yang tidak begitu jelas manfaatnya hanya karena
sedang ada diskon besar. Dan masih banyak lagi yang serupa itu.
Tidak mudah menolak gelombang maha
besar yang akan menenggelamkan mayoritas kita dalam hiruk pikuk permasalahan di
setiap segi kehidupan. Kita adalah makhluk individu sekaligus sosial sekaligus offline sekaligus online yang akan terseret-seret gelombang ini karena bukan kita
yang mengendalikan pusarannya.
Bangsa dengan 250-an juta penduduknya
ini mayoritas adalah user, konsumen, market. Belum beranjak jadi produsen,
kreator, leader. Kita berkiblat pada
Amerika, Eropa, Jepang, Korea, Cina. Kita berkiblat pada apapun yang bukan
berasal dari negeri kita sendiri.
Kita berkiblat pada mereka yang bekerja
keras untuk menciptakan masa depan versi mereka, karena kita tak cukup keras
berjuang menciptakan masa depan versi kita sendiri.
Dalam hiruk pikuk, yang paling mudah
adalah mengikuti arus. Dalam banjir bandang informasi, yang paling mudah adalah
mengikuti arus. Dalam kebingungan, yang paling mudah adalah mengikuti apa kata
orang banyak. Dalam ketidakjelasan, yang paling mudah adalah mengikuti petunjuk
entah dari siapa.
Maka larislah dukun-dukun, paranormal, politisi yang hobinya menyebar uang untuk transaksi suara, infotainment yang ahli mengemas berita sampah, sinetron yang tak pernah meningkat mutunya sejak jaman Brama Kumbara.
Melahirkan Cahaya
Lha ini semua salah siapa? Darimana
pembenahannya? Terus dibenahi untuk menjadi apa?
Jawabnya: pusing.
Serius nih. Pilihannya, kalau kita
memilih ikut arus maka kita akan pusing dan itu selamanya. Perang harga, perang
diskon, perang rebutan klien, order, SDM kreatif, dan perang-perang
kekanak-kanakan lainnya yang membuat kita makin tak bisa ber-bhinneka tunggal ika di industri ini.
Tapi kalau kita memilih untuk berdiam
sejenak, mengambil jarak dari hiruk-pikuk realitas bisnis sehari-hari, berfikir
jernih dan menimbang-nimbang kebaikan serta menyiapkan terobosan yang akan
mengubah aturan main di ranah periklanan ini: kita juga akan tetap pusing
bahkan dengan tingkat kepusingan yang lebih hebat, tapi kita akan menemukan
secercah cahaya di ujungnya.
Cahaya yang bukan berasal dari Madison
Avenue sana atau dari kantor-kantor pusat raksasa periklanan dunia. Melainkan
cahaya yang meskipun awalnya kecil, tapi berasal dari kita sendiri. Karena
cepat atau lambat, kita akan melihat kreativitas mulai menggeliat menemukan
ruangnya di dunia nyata dan maya dari tempat-tempat yang kita tak pernah
sangka-sangka. Cahaya itu akan bermunculan menerobos kegelapan dari titik-titik
kreativitas di Brosot, Nganjuk, Bangkalan, Ubud, Tebing Tinggi, Sabang,
Belitung dan kota-kota lainnya yang belum terpetakan di Google map.
Dengan menunggangi gelombang kemajuan
teknologi komunikasi, kota-kota itu dihidupkan oleh para pemenang yang bersedia
berpusing ria untuk sesuatu yang akan mengubah format, cara dan strategi beriklan selama-lamanya. Andakah calon
pemenang itu? Atau saya? Atau kita semua?
Siapapun yang memiliki keyakinan untuk
menghidupkan industri periklanan ini dengan sepenuh hatinya, saya yakin tidak
akan mudah putus asa melihat caut-marutnya kondisi industri ini dalam jaman
yang terus berubah tanpa kompromi.
Siapapun yang terus berharap industri
periklanan ini tidak hanya menambah tingkat konsumtifisme bangsa ini dan memproduksi
sampah visual terus menerus.
Siapapun yang terus berharap industri
periklanan ini juga akan menyumbangkan satu demi satu batu bata bagi berdirinya
sebuah bangunan ke-Indonesia-an yang maju, yang unggul dan menjadi bangsa yang
BESAR (yes, dengan semua huruf
kapital).
Merekalah para pemenang sejati.
Comments