Kita berpacu, berpacu, berpacu
Kita begitu sibuk berpacu
Tanpa sempat berfikir untuk apa kita berpacu
Atau perlukah kita berpacu
Kita berpacu karena orang lain berpacu
Kita berpacu karena takut berbeda dengan yang lain
Kita berpacu karena kita tak tahu apa yang harus kita lakukan selain menjadi
orang lain
Kita berpacu karena kita tak tahu apa yang harus kita lakukan selain
berpacu
Kita berpacu meninggalkan diri sendiri yang terus bertanya-tanya mengapa harus terus berpacu sampai habis waktu
-----------------------
Di jaman yang serba digital ini, semakin sulit untuk meraih ruang
hening, ruang yang terbebas dari intervensi dan interupsi segala hal yang
berhubungan dengan internet. Yang paling mudah dirasakan adalah makin sulitnya
menjadi fokus dalam menyelesaikan berbagai tanggung jawab kehidupan. Makin
sulit untuk berfikir mendalam, menuangkan fikiran dengan jernih.
Di dalam keseharian, seolah-olah ada pasar yang riuh yang terus kita
bawa kemana-mana tanpa jeda. Membuat otak kita terasa penuh tapi dengan
ketidakjelasan apa saja yang memenuhinya. Kita dihempaskan gelombang informasi
ke kanan, ke kiri, kemanapun yang bukan kita sendiri penentunya. Waktu pun
menggelinding begitu cepatnya tanpa kita punya daya untuk mengendalikan. Baru
mulai kerja di pagi hari, online
sebentar tahu-tahu udah adzan dhuhur. Baru makan siang, diskusi sebentar
tahu-tahu udah Asar. Baru mau kirim email tak terasa hari sudah gelap dan Maghrib
berkumandang. Baru kemarin Senin, eh tahu-tahu sudah Senin lagi. Dan ini berlangsung terus menerus, tanpa kita kuasa untuk
mengerem, untuk berhenti sejenak.
Kelemahan untuk berfokus dan kesulitan untuk diam tenang berfikir ini,
sering membawa kita melakukan pelarian kepada hal-hal yang sedang hot, isu yang
yang lagi marak, yang celakanya tak kita pahami substansi permasalahannya
selain sekedar remah-remah informasi yang bersliweran di timeline twitter, status facebook,
broadcast message atau gosip ria di cafe-cafe. Kita memenuhi otak kita dengan
sampah informasi yang terus menggunung tanpa kesadaran untuk membersihkannya, karena
sampah informasi itu tak terlihat.
Tapi sungguh kita pasti bisa merasakannya. Alarm tanda bahaya itu akan
mengirimkan sinyal: sulitnya menentukan prioritas, tidak bisa berpisah dengan gadget, mudah lupa, bingung mau
melakukan apa karena dalam waktu bersamaan banyak tanggung jawab yang belum
diselesaikan, mudah panik, tidak bisa mengatur waktu, mudah capek, melakukan
aktivitas yang kita tidak tahu apa manfaatnya selain untuk membunuh waktu, online ria tanpa kenal waktu, memenuhi gadget dengan ratusan apps yang fungsi utamanya hanyalah untuk
memenuhi layar semata. Dan masih banyak lagi yang serupa itu.
Image pinjem dari: http://mrjgoyeneche.files.wordpress.com/2011/05/social-media-multi-tasking.jpg
Di awal Januari 2013, dalam sebuah forum diskusi Wedangan di Petakumpet, saya sampaikan
bahwa selain tahun ular, tahun 2013 sebaiknya dimaknai sebagai Tahun Kesederhanaan.
The year of simplicity.
Untuk yang
tidak ingin terus hanyut dalam gelombang kesia-siaan dan trend ketidakjelasan, ini adalah tahun untuk mengambil sikap. To stand for something.
Tidak mudah menolak gelombang maha besar yang –prediksi saya – akan menenggelamkan
mayoritas kita dalam hiruk pikuk politik, ekonomi, teknologi, gosip dan permasalahan-permasalahan
kehidupan lainnya. Kita adalah makhluk individu sekaligus sosial sekaligus offline sekaligus online yang akan terseret-seret gelombang ini karena bukan kita
yang mengendalikan pusarannya.
Bangsa dengan 250-an juta penduduknya ini mayoritas adalah user, konsumen, market. Belum beranjak jadi produsen, kreator, leader. Kita berkiblat pada Amerika, Eropa, Jepang, Korea, Cina.
Kita berkiblat pada apapun yang bukan berasal dari negeri kita sendiri. Kita
berkiblat pada mereka yang bekerja keras untuk menciptakan masa depan versi
mereka, karena kita tak cukup keras berjuang menciptakan masa depan versi kita
sendiri.
Dunia yang makin mencair ini terus mengalirkan informasi – yang berguna
dan yang sampah – ke seluruh pelosok negeri bahkan ke sudut-sudut tersembunyi
yang gelap di dalam otak kita, prosesor alami maha dahsyat yang kita perlakukan
hanya sebagai tempat penyimpanan belaka, sekedar harddisk yang sebentar lagi
akan penuh isinya, makin bertambah bad
sector-nya dan lantas hang.
Dalam hiruk pikuk, yang paling mudah adalah mengikuti arus. Dalam
banjir bandang informasi, yang paling mudah adalah mengikuti arus. Dalam kebingungan,
yang paling mudah adalah mengikuti apa kata orang banyak. Dalam ketidakjelasan,
yang paling mudah adalah mengikuti petunjuk. Yang paling mudah adalah
menyerahkan kendali nasib kita pada bangsa yang lebih maju, lebih besar, pada
Google, pada Apple, pada Facebook, pada Twitter, pada Presiden, pada partai, pada Syahrini, pada Farhat Abbas.
Tapi yang saya tahu, para pemenang dalam kehidupan bukanlah mereka yang
memilih hal-hal yang mudah tapi mereka yang memilih berjuang untuk mencapai
hal-hal yang lebih baik, walaupun itu berarti menjalani kehidupannya dengan
lebih sulit.
Sesederhana itu.
Comments
terima kasih untuk artikel yang sangan bermanfaat ini..