Pekerjaan sesungguhnya seorang penulis dimulai setelah bukunya diterbitkan, bukan - seperti yang dipahami dan dipraktekkan sebagian penulis - sebelum diterbitkan. Jika dimasukkan dalam bahasa periklanan, content (isi buku) itu WHAT TO SAY, cara mengkomunikasikan setelah buku itu beredar di pasaran disebut HOW TO SAY. WTS bisa bagus luar biasa tapi jika HTS-nya tidak direncanakan dan dieksekusi dengan baik: buku itu bisa merana di pojokan display toko, bersahabat dengan laba-laba merah. Rugilah semua pihak karena bukunya tak laku: penulisnya, penerbitnya, toko bukunya, calon pembacanya. Padahal isi buku itu bagus tapi tidak dipromosikan dengan baik, tidak diketahui orang, sehingga dilirikpun belum.
Penulis yang baik tidak berhenti bekerja setelah tulisannya selesai. Ia hanya nambah job desc: jadi cheerleader, jadi provokator, jadi pembicara dadakan, jadi tukang pos untuk anterin buku pesanan, jadi apapun yang diperlukan: agar buku yang susah payah ditulisnya dengan segenap hati dan jiwa tidak berakhir jadi mubadzir.
Jadi, jika kebetulan ada yang lewat bandara Soekarno Hatta dan belum tahu apa yang akan dibaca sambil nunggu pesawat delay, boleh mampir ke Ananda Bookshop. Buku Tuhan Sang Penggoda nongkrong di situ, menunggu dibawa ke kasir (jika belum sold out lhooo)... Halllaaah ternyata UUD (Ujung Ujungnya Djualan).
Bukan jualan, saya revisi. Tapi menjemput rejeki. Biar jadi penglaris, he he he :)
Comments
selamat malam dan salam kenal
Saya dah punya tuh..
Dia jadi temen setia saya tiap pagi di kamar mandi selama kurang lebih 2 bulan.
Isinya cukup menggiurkan. Menumbuhkan gairah untuk melakukan lebih banyak hal positif sekaligus menimbulkan kerinduan yang memuncak untuk pulang ke Jogja.
Ada buku lain yang juga bisa jadi temen saya di pagi hari gak?