Bertemu teman lama seolah melengkapi puzzle kehidupan kita. Yang mungkin sempat terkeping ketika kita jauh dari tempat asal, jauh dari kultur yang membesarkan kita, jauh dari mereka yang saat kita sedang tumbuh mengeja kehidupan senantiasa bersama menemani kita. Dan moment itu seringkali tiba ketika lebaran tiba, syawalan, halal bi halal.
Mengetahui prestasi apa yang dicapai kawan-kawan kecil kita dulu, bertukar cerita, me-rewind kisah lama dan menghidupkan sejarah sehingga up to date kembali: selalu mengasyikkan. Sejenak melepas beban dan memberikan variasi asupan informasi dan otak kita sehingga lebih fresh dan lebih siap saat waktunya tiba untuk menyelesaikan persoalan riil kita sehari-hari di waktu selanjutnya.
Tentu saja sambil bercermin adakah upaya kita di masa lalu telah cukup maksimal atau ternyata masih jauh dari harapan. Teman-teman lama kita menjadi cermin untuk melihat diri kita sendiri di kebeningan mata mereka. Juga sharing, saling belajar, saling mendoakan, saling mendukung dan memampukan. Atau rencana untuk membuat upaya pertemanan yang sejenak nyambung ini menjadi permanen. Ya, hal-hal besar seringkali dimulai dari sesuatu yang kecil. Setiap amal perbuatan, tumbuh pertama dari niat.
Keindahan pertemuan dan derai tawa itu akan kita bawa pulang kelak, saat mesti pulang ke habitat sehari-hari kita. Yang memang orang politik, segera menjadi politisi. Yang guru akan kembali menyapa murid-muridnya. Yang pengusaha, kembali dikejar jadual dan berlarian di bandara. Yang kyai, segera sibuk ceramah dan menyembuhkan hamba-hamba Tuhan yang sakit spiritualnya. Yang masih nganggur segera mengurung diri.
Lalu hari baru akan segera menyapa, kita pun segera tenggelam dalam keseharian kita. Biasanya spirit untuk perbaikan masih akan tahan beberapa hari, beberapa minggu, beberapa bulan. Tapi jika tak keras hati untuk istiqomah, kita segera akan tergulung dengan kesibukan sehari-hari, seperti biasanya. Menyapa teman lama seperlunya via sms, fesbuk, email dan sebagainya: kecuali yang secara bisnis menguntungkan kita. He he he, manusia itu tempatnya khilaf dan lupa.
Tapi sudahlah, perbaikan tak bisa dimulai sekaligus dan drastis nanti mental kita akan down dan patah. Akan lebih realistis untuk menikmati saja prosesnya. Mudik – dengan segala catatan kakinya – telah menjadi budaya yang mengembalikan kita semua ke akar dari mana kita berangkat. Dari mana perjalanan panjang ini dimulai. Dan seperti juga tradisi indah yang telah hidup ribuan tahun: tak peduli berapa kali pun KTP-mu berganti, berapa rumah kau tinggali, berapa kota dan perusahaan kau singgahi selama membangun karier dan kesuksesan, kita akan selalu kembali.
Saat Tuhan memanggil kita untuk pulang, tempat terbaik mengistirahatkan jasad kita adalah di kampung halaman. Di tempat dimana kita memulai segala sesuatunya. Dari titik nol kita akan kembali ke titik nol.
Comments