Siapa yang menyangka bahwa penderitaan akan membuat karakter seseorang berubah? Anda yang ingin pergi ke daerah bencana kini sebaiknya lebih waspada. Di jalan-jalan daerah pengungsian banyak orang yang mengaku korban gempa (sebagiannya mungkin korban beneran), membawa berbagai macam peralatan - dari kayu sampai pedang - untuk meminta sumbangan atau menjarah mobil pengangkut makanan dan obat-obatan. Dengan cara pemaksaan.
Kenapa? Itu pertanyaan saya. Kenapa penderitaan menjadi sebab dihalalkannya kejahatan pada orang lain. Menjarah bantuan untuk kepentingan sendiri atau sekelompok orang dengan mengorbankan orang lain, jelas bukan sesuatu yang menimbulkan simpati. Malah akan timbul kejengkelan: ini dibantu kok malah menjarah!
Saya sendiri hidup di Jogja sudah 13 tahun, merasa bahwa Jogja adalah kampung halaman kedua saya: saya malu dan jengkel premanisme seperti itu terjadi di kota yang saya cintai ini. Dalam situasi serba susah seperti ini lagi! Setahu saya, orang Jogja tidak begitu. Keramahtamahannya nomer satu!
Jika para dermawan itu telah antipati, maka tunggulah saatnya kita semua akan ditinggalkan kedinginan dan dibenci saudara-saudara kita yang mula-mula merasa kasihan.
Mengapa kita tidak justru bersyukur masih diberi kesempatan hidup sementara lebih dari lima ribu yang lain tewas tertimbun runtuhan? Mengapa sisa umur kita tidak digunakan untuk berbuat kebaikan, malah menebar teror pada para penolong di jalanan? Mengapa kita jadi egois dengan mengorbankan saudara-saudara kita sendiri? Jikapun banyak hasil jarahan yang didapat, ketika tidak sengaja sebuah balok kayu menimpa kepala: toh mati juga dan nggak bawa apa-apa.
Penderitaan, kesusahan, nasib buruk bukanlah alasan untuk menyalahkan orang lain, merugikan, merampas. Ujian Tuhan itu adalah kesempatan untuk melatih kesabaran, berkorban buat orang lain dan menjadi manusia yang lebih utuh. Yang rahmatan lil 'alamin, yang hidup dan matinya berguna bagi semesta.
Tidak justru malah jadi parasit, kucing garong atau serigala.
Kenapa? Itu pertanyaan saya. Kenapa penderitaan menjadi sebab dihalalkannya kejahatan pada orang lain. Menjarah bantuan untuk kepentingan sendiri atau sekelompok orang dengan mengorbankan orang lain, jelas bukan sesuatu yang menimbulkan simpati. Malah akan timbul kejengkelan: ini dibantu kok malah menjarah!
Saya sendiri hidup di Jogja sudah 13 tahun, merasa bahwa Jogja adalah kampung halaman kedua saya: saya malu dan jengkel premanisme seperti itu terjadi di kota yang saya cintai ini. Dalam situasi serba susah seperti ini lagi! Setahu saya, orang Jogja tidak begitu. Keramahtamahannya nomer satu!
Jika para dermawan itu telah antipati, maka tunggulah saatnya kita semua akan ditinggalkan kedinginan dan dibenci saudara-saudara kita yang mula-mula merasa kasihan.
Mengapa kita tidak justru bersyukur masih diberi kesempatan hidup sementara lebih dari lima ribu yang lain tewas tertimbun runtuhan? Mengapa sisa umur kita tidak digunakan untuk berbuat kebaikan, malah menebar teror pada para penolong di jalanan? Mengapa kita jadi egois dengan mengorbankan saudara-saudara kita sendiri? Jikapun banyak hasil jarahan yang didapat, ketika tidak sengaja sebuah balok kayu menimpa kepala: toh mati juga dan nggak bawa apa-apa.
Penderitaan, kesusahan, nasib buruk bukanlah alasan untuk menyalahkan orang lain, merugikan, merampas. Ujian Tuhan itu adalah kesempatan untuk melatih kesabaran, berkorban buat orang lain dan menjadi manusia yang lebih utuh. Yang rahmatan lil 'alamin, yang hidup dan matinya berguna bagi semesta.
Tidak justru malah jadi parasit, kucing garong atau serigala.
Comments