Seringkali aku berkata, Ketika semua orang memuji milikku Bahwa sesungguhnya ini hanyalah titipan Bahwa mobilku hanyalah titipan-Nya Bahwa rumahku hanyalah titipan-Nya Bahwa hartaku hanyalah titipan-Nya Bahwa putraku hanyalah titipan-Nya Tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya: mengapa Dia menitipkan padaku? Untuk apa Dia menitipkan ini padaku ? Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik-Nya itu ? Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku? Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya ? Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka, kusebut dengan panggilan apa saja untuk melukiskan bahwa itu adalah derita Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku, aku ingin lebih banyak harta, ingin lebih banyak mobil, lebih banyak rumah, lebih banyak popularitas, dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan Seolah semua “de...