Skip to main content

Soe Hok-gie di Grand Indonesia


Disinilah saya, menjelang tengah hari di cafe Gramedia lantai 3 Grand Indonesia dengan secangkir coffee latte dan sebuah buku yang baru saja saya beli: Soe Hok-gie... Sekali lagi, dengan editor Rudy Badil dan teman-teman Gie yang lain.

Di seberang jalan, di pinggiran bundara HI nampak tiga puluhan orang sedang demo dengan topik yang tidak begitu jelas, kemungkinan tentang revisi peraturan pemerintah. Spanduk-spanduk dibentangkan asal-asalan tanpa semangat, beberapa orang berdasi orasi dengan memekik-mekik sementara peserta demo melihat dengan tatapan mata kosong menyiratkan ketidakmengertian.

Tahulah saya - sebagai mantan demonstran amatir - dari gerak-gerik dan antusiasme-nya yang palsu dan menyedihkan, sebagian peserta adalah pendemo bayaran.

Dari seorang ojek yang kebetulan melintas - sebelum saya masuk Grand Indonesia - saya ketahui bahwa tarif pendemo bervariasi, antara 35 rb sampai 50 rb tergantung atas suruhan siapa. Si ojek kemarin ikut demo kasus Century di dekat Istana Negara dibayar 50 rb untuk demo beberapa jam. "Lumayan Mas, apalagi saat sepi gak ada penumpang," katanya.

Dari sejuk ruang ac di toko buku yang diklaim terbesar di Asia Tenggara itu, mata saya menatap cover buku merah bergambar silhuet Gie, dengan sedih, sekaligus marah. Anak muda lurus dengan kata-kata yang tajam menyilet ketidakadilan itu mati keracunan di puncak Semeru dan kita semua di tahun 2009 - 40 tahun sejak Gie pergi - tak juga mampu memahami kemarahan atas nama kejujuran itu.

Bangsa ini mengulang kesalahan yang sama, berulang-ulang. Kita tak berhulu pada kejujuran saat berteriak di bawah mentari siang yang terik. Kita bertekuk lutut pada sejumlah rupiah untuk proyek bernama demonstrasi bayaran.

Di seberang tempat duduk saya nampak beberapa orang sedang minum kopi mahal, makan siang yang pastinya lebih dari seratus ribu rupiah sekali santap. Siapa tahu salah satu diantaranya adalah pemesan demo di bundara HI siang itu, melihat kumpulan manusia dipanggang terik mentari, berteriak parau sambil menghirup harum espresso, capuccino atau chococino. Orang berduit besar yang membayar para pendemo dengan duit recehan.

Saya sendiri masygul. Lha saya ini ngapain disini? Kalo tiba-tiba arwah Soe Hok-gie (ya, bener.. Ini spelling yang bener, bukan Soe Hok Gie) datang dan mendamprat saya serta menumpahkan caffee latte-nya karena marah melihat saya mulai dijangkiti penyakit modernisme, seperti banyak pejabat mantan demonstran yang meng-gendut perutnya karena 'mencairkan' jasanya ketika jadi pendemo mahasiswa dalam bentuk jabatan, kekayaan, kekuasaan.

Minuman hangat berbusa itu sudah tandas setengah, saya minum setengah hati.

Bayangan wajah Gie yang keras, yang hidupnya dihajar situasi revolusioner tahun 60-an berkelebat di dinding kaca tebal di hadapan saya. Seperti menyapa dengan sorot mata yang dingin. Saya buka pelan-pelan halaman buku itu - yang dibikin sebagai dedikasi untuk perjuangannya yang tak kenal kompromi - dan masa lalu saat-saat saya masih mahasiswa menyergap, saat saya belum mengenal dunia bisnis, saat belum memikirkan membangun perusahaan, saat impian untuk nongol sebagai cover majalah Fortune belum tumbuh di angan saya.

Saat itu saya adalah seorang mahasiswa sok patriotik yang dibakar oleh Catatan Harian Soe Hok-gie dan Ahmad Wahib, ikut-ikutan demo, merasa gagah karena ikut nyumbang upaya membersihkan bangsa. Ah, anak muda yang kobaran semangatnya menyentuh atap langit.

Ketika usia mulai merambat, idealisme itu pun bertransformasi. Jakob Oetama yang dulu menjadi wartawan Kompas, tempat Gie mengirimkan tulisannya telah menjelma konglomerat media. Kawan-kawan seperjuangan Gie telah berumur 60-an tahun, beruban dan mulai lupa atas peristiwa indah - sekaligus - tragis masa itu, saat Gie hidup di antara mereka.

Apakah idealisme saya mulai luntur seiring makin jauhnya saya dari jalanan dan konfrontasi di lapangan? Apakah secangkir coffee latte ini adalah racun yang meninabobokkan semangat juang itu? Apakah AC yang dingin, sofa yang empuk, view gedung-gedung tinggi modern telah membekukan lantangnya teriakan dan kerasnya kepalan tangan?

Saya terdiam dan menutup buku itu setelah membaca beberapa halaman. Saya malu. Saya pun menyelesaikan tegukan terakhir, mengelap mulut dengan tisue lalu beranjak pergi. Pandangan saya menatap ke bawah, ke kedua kaki saya yang bersendal jepit di tempat 'mewah' begini.

Saya tersenyum geli, saya tak benar-benar beranjak modern ternyata. Sendal jepit hitam itu sedikit menyelamatkan saya dari beban rasa bersalah.

Saya berkata pada diri saya sendiri: saya takkan mau dibeli oleh gaya, gengsi dan kesuksesan semu. Saya takkan mau di-rupiah-kan. Saya takkan mau di-dunia-kan.

Saya pun meninggalkan Grand Indonesia. Demonya juga barusan bubar, arahnya terpencar-pencar. Sebagian pulang ke kantor, sebagian jadi ojek lagi, sebagian jadi pedagang kaki lima lagi, sebagian kembali ke kehidupan awalnya dengan beberapa lembar puluhan ribu di tangan.

Sebuah taxi menghampiri dan saya tolak dengan halus. Seorang ojek menghampiri dan sayapun naik di boncengannya. Yang pantes ya begini, pake sendal jepit ya naiknya ojek denga helm lama yang putus talinya. Bukannya minum caffee latte di ruang ber-AC sambil mikir yang aneh-aneh.

Ah, hidup. Begitulah paradoksnya. Dengan buku Gie yang akan menemani saya beberapa hari ke depan, semoga diri saya yang asli akan hadir kembali. Proses itu mungkin tak mudah, bahkan menyakitkan. Tapi saya harus menempuhnya. Sekali lagi mentalitas sok sukses itu harus dihajar dan dibenturkan realitas idealisme yang kejam. Kemanjaan lantaran sudah mulai banyak fasilitas harus dihancurkan karena manja merapuhkan jiwa raga.

Sedangkan Gie dan Wahib mati muda dalam keaslian. Saya yang beranjak tua, harus terus bergulat melepaskan kepalsuan-kepalsuan yang makin canggih dan seolah tak terlawan.

Kata-kata Gie terngiang sekali lagi,"Yang terbaik adalah tidak pernah dilahirkan. Atau dilahirkan tapi mati muda. Yang paling sengsara adalah mati tua, sakit-sakitan, ditinggalkan. Berbahagialah mereka yang mati muda."

Berbahagialah engkau di sana, Gie. Doakan saya kuat meneruskan apimu itu, membawanya dalam perjalanan berdarah-darah di tengah kepalsuan hidup yang begini besar. Saya memang tidak berharap mati terlalu muda, saya sudah 34 tahun.

Jika saya suatu hari nanti saya mati tua, semoga saya bisa mati tua dalam keaslian. Semoga.

Comments

Ali Masadi said…
wuah .. inspiratif banget.. hidup didunia memang penuh kepalsuan..
mizwar iwan said…
udah ada filmnya juga kan?

lagunya, "sampaikanlah pada ayahku.. aku pulang terlambat waktu.. kua akan mengarungi malam dengan jalan pikiranku.."
Anonymous said…
he mas, gimana dengan catatan harian yang pertama dari LP3ES dan yang terbaru ini covernya masi nicolas ? dari segi adv gimana tuh ? hehe salam hafidz anak baru AI jogja

Popular posts from this blog

Kunci Sukses Bisnis (3)

Sempat terjadi dalam periode kehidupan saya saat awal-awal bersama teman-teman memulai Petakumpet, waktu 24 jam sehari rasanya tak cukup. Hari-hari itu begitu melelahkannya, rasanya tak kuat saya menyelesaikan begitu banyak tanggung jawab menyangkut komunitas, pekerjaan, kehidupan persoanl saya yang berantakan. Saya pun mengadu pada Allah,"Ya Allah, jika sehari bisa lebih dari 24 jam rasanya saya akan punya kesempatan lebih banyak untuk menyelesaikan semua tanggung jawab saya..." Tapi rasanya Allah tak mendengar doa saya. Atau saya nya yang tak punya kemampuan mendengarkan-Nya. Pekerjaan seperti nya mengalir tak habis-habis, ada duitnya emang, tapi duit nya pun mengalir lancar keluar tak pernah terpegang barang sebentar. Hidup saya begitu capeknya, badan pegel-pegel tiap malam, Sabtu Minggu pun dihajar pekerjaan. Saat-saat seperti itu, saya melihat buku karangan Stephen Covey The Seven Habits of Highly Effective People di Shopping Center (pusat buku murah) Jogja. Dengan

Jadual Diskusi dan Bedah Buku

Berikut beberapa jadual diskusi, talk show atau bedah buku yang udah masuk di Bulan Ramadhan (September) sekaligus menjawab beberapa imel yang menanyakan ke saya kapan ada diskusi buku Jualan Ide Segar: Bedah Buku Jualan Ide Segar (M. Arief Budiman) dan Mata Hati Iklan Indonesia (Sumbo Tinarbuko) di Diskomvis FSR ISI Yogyakarta. Kamis, 11 September 2008 jam 15.00 - 18.00 WIB. Juga menampilkan Sujud Dartanto sebagai pembahas. Untuk Mahasiswa ISI Jogja dan Umum (Free) Ngopi Bareng Penjual Ide Segar di Melting Pot, Sabtu, 13 September 2008, 20.00 - 22.00 WIB, Untuk Umum HTM Rp 15.000,- (Free 1 cup Coffee) Sarasehan Keajaiban Berbisnis Ide di ADVY (Akademi Desain Visi Yogyakarta), Senin, 15 September 2008, 09.00 - 12.00 WIB, untuk Mahasiswa ADVY (Free) Yang segera menyusul adalah Diskusi dan Bedah Buku di Jurusan Komunikasi UGM, semoga juga bisa terlaksana di Bulan September ini. Buat temen-temen silakan hadir untuk meramaikan proses belajar kreatif yang tentu saja sangat fun dan menyena

Al Fatihah Cahaya Kehidupan

Hidup kita ini diawali dengan kesederhanaan dan akan diakhiri dengan kesederhanaan. Sehingga cara terbaik untuk menjalaninya pun dengan kesederhanaan. Manusia seringkali menilai penampilan luar yang jika kita mengikuti penilaian itu akan memboroskan jiwa raga. Tapi Allah melihat ke dalam hati kita, ke kesejatian, ke kesederhanaan. Hal sederhana yang sangat dekat dengan keseharian kita sebagai muslim adalah Surat Al Fatihah yang kita baca minimal 17 kali sehari dalam sholat. Insya Allah jamaah sekalian telah hafal luar kepala bacaannya beserta artinya. Tapi dalam kesempatan ini, saya akan mencoba mengupas makna ayat-ayat indah dalam Surat Al Fatihah ini dari sudut pandang saya, sudut pandang yang sehari-hari, yang sederhana. Tapi sebelumnya saya akan menceritakan sebuah kejadian nyata yang berhubungan dengan Surat Al Fatihah, yang terjadi beberapa bulan yang lalu. Malam itu jam 20.00 saya dan Mas Andika DJ (CEO Syafaat Marcomm) harus ijin pulang dulu dari sebuah rapat di