Skip to main content

Posts

Showing posts from 2009

Mengantar Gus Dur Pulang

Selamat jalan, Gus.  Bukan asisten atau paspamres yang mengawalmu lagi, tapi ribuan malaikat Allah yang takjub atas kebesaran jiwamu. Banyak pelajaran yang telah kau bagikan saat hidupmu bersama kami, makin banyak gagasan dan pelajaran yang kau wariskan setelah kau pergi. Beristirahatlah dengan tenang setelah mewakafkan ... seluruh pikiran, waktu dan seluruh umurmu bagi negeri ini, negeri yang tak kunjung dewasa menyikapi perbedaan, negeri yang tak kunjung sadar bahwa perbedaan adalah rahmat bukan alasan pertikaian. Dari yang saya rasakan beberapa hari terakhir, Malaikat Izrail 'seolah' membocorkan rahasia-Nya sehingga Gus Dur tahu  bahwa waktunya telah dekat. Sekitar dua minggu sebelum wafat, Gus Dur telah membaca tanda-tanda itu dan mengikuti kata hatinya. Maka diapun pulang ke Jombang untuk berziarah ke makam beberapa kyai besar. Saat balik dari Jombang ke Surabaya, sesampainya di Mojokerto ia minta balik lagi ke Jombang karena merasa wajib lapor dulu ke Kakeknya Has

Jalan yang Lebih Baik, Bukan yang Lebih Mudah (Bagian 1)

Datang sebuah kabar kepada saya: Mas, pengumuman CPNS-nya udah keluar. Aku gak diterima. Teman-temanku yang diterima ada 6 orang padahal formasinya waktu awal diumumkan hanya 4 orang. Dan mereka memang memenuhi 'syarat-syarat'nya. Bayar Rp 70 - 100 juta/orang. Gimana ya Mas? Mengapa untuk jadi pegawai negeri syaratnya bukan lebih pinter, lebih capable tapi malah berdasar uang semata? Datang lagi kabar yang lain dari sohib saya: Eh, Si A kemana aja ya Rief? Kok lama gak terdengar kabarnya. Facebooknya gak aktif.  Saya coba maen ke facebook -nya, temen saya itu jadi member 'gerakan tuntut klarifikasi pencairan dana ustad lihan'. Saya belum berhasil kontak, tapi sepertinya dia juga ikut menitipkan sejumlah uang ke Ustadz Lihan - entah berapa puluh atau ratus juta - untuk investasi dan belum jelas bagaimana memintanya kembali.  Dua kabar ini membuat saya merenung.  Yang pertama, sebulan sebelum CPNS, saya sudah menyarankan sobat saya ini untuk tidak membayar Rp 70 jt y

Soe Hok-gie di Grand Indonesia

Disinilah saya, menjelang tengah hari di cafe Gramedia lantai 3 Grand Indonesia dengan secangkir coffee latte dan sebuah buku yang baru saja saya beli: Soe Hok-gie... Sekali lagi , dengan editor Rudy Badil dan teman-teman Gie yang lain. Di seberang jalan, di pinggiran bundara HI nampak tiga puluhan orang sedang demo dengan topik yang tidak begitu jelas, kemungkinan tentang revisi peraturan pemerintah. Spanduk-spanduk dibentangkan asal-asalan tanpa semangat, beberapa orang berdasi orasi dengan memekik-mekik sementara peserta demo melihat dengan tatapan mata kosong menyiratkan ketidakmengertian. Tahulah saya - sebagai mantan demonstran amatir - dari gerak-gerik dan antusiasme-nya yang palsu dan menyedihkan, sebagian peserta adalah pendemo bayaran. Dari seorang ojek yang kebetulan melintas - sebelum saya masuk Grand Indonesia - saya ketahui bahwa tarif pendemo bervariasi, antara 35 rb sampai 50 rb tergantung atas suruhan siapa. Si ojek kemarin ikut demo kasus Century di dekat Ista

Online Online

Dari yang awalnya begitu menarik saat memulai aktivitas online, pelan-pelan dunia online mulai meningkat jamnya. Dari dua-tiga jam seminggu, sekarang setiap hari rasanya tak lengkap kalo tak nongol di halaman muka facebook, mengganti status dan melongok status teman-teman. Dunia online adalah dunia yang dinamis, tidak berhenti di satu titik. Ibarat kendaraan, dia bergerak dari O km/jam menjadi 20km/jam lalu 200 km/jam, makin lama makin cepat. Tak terasa, dunia online mulai mengabiskan jatah waktu offline kita untuk membaca buku, bersosialiasi, maen bola, jalan-jalan ke gunung. Rasanya jika pun kita berwisata di pedesaan, blackberry, iphone atau hp lainnya terus 'menginterupsi' keheningan kita. Rasanya kurang jika tak mendengar kabar terkini dari dunia online. Terlebih lagi, banyak di antara kita yang tak menyadari perubahan cara kita hidup ini, online dan online secara berlebihan. Kita menjelma katak yang masuk ke dalam air di panci, pelan-pelan dipanaskan dan tak pernah mau

Bedah Buku TSP di Semarang

Hidup Melampaui Kematian

Entah mengapa akhir-akhir makin banyak saja yang bunuh diri. Yang lompat dari lantai atas mall, dari hotel, nggantung di dalam kamar, minum racun, menabrakkan diri ke kereta yang melaju, belum lagi yang pake bom bunuh diri. Harapan hidup rasanya begitu pendek, dunia gelap, Tuhan entah di mana saat momen itu tiba. Perasaan terasing, sendiri, ditinggalkan bahkan dunia yang penuh keindahan ini pun telah begitu menakutkan dan membosankan bagi para pelaku bunuh diri. Cinta tak bisa menyelamatkan pikiran yang kalut, hati yang tertutup oleh cahaya. Di sini kita harus belajar, tak ada jaminan bahwa di diri kita masing-masing ini tak pernah kepikiran sedikitpun untuk mengakhiri hidup kita tanpa seijin Tuhan, Sang Pemilik tubuh kita. Kadang masalah sebrek datang menggulung masa depan kita, lamanya waktu terbenam dalam kesulitan rasanya bakal selamanya. Tapi ternyata tidak. Andai mereka yang pernah bunuh diri diijinkan-Nya untuk menemui kita sekali lagi dan bercerita seperti apa di alam san

First Edition Promo

Rumah di Atas Pohon

10 Juni 1998 Jadi inget masa kecil: saat dulu punya rumah-rumahan di atas pohon jambu air di belakang rumah. Rasanya asyik banget, bisa makan dan minum di atas pohon, yang dikerek pake tali. Bawa buku buat dibaca di atas, maksudnya mau belajar tapi emang lebih asyik ambil jambu dan memakannya langsung dari pohon, tanpa dicuci. Entah sekarang masih ada atau tidak pohonnya, karena setelah itu saya pindah rumah. Rumah di atas pohon pas banget buat merenung, kontemplasi dan sisi adventure-nya juga luar biasa. Tentu bukan kesalahan jika kelak saya masih ingin membangun rumah di atas pohon, sekali lagi. Paling tidak anak saya (anak? Ha ha ha...) bisa tertular kebahagiaan masa kecil bapaknya (bapak? Ha ha ha...). Dikutip dari Buku Tuhan Sang Penggoda Penulis: M. Arief Budiman  Penerbit Galangpress, 298 hlmn, 130 x 200 mm   www.mybothsides.com

Tuhan Sang Penggoda Hadir di Gramedia

Akhirnya punya waktu juga menyempatkan diri menengok Buku Tuhan Sang Penggoda (TSP) ke Gramedia Sudirman, Jogja. Mungkin setelah ini saya akan mampir juga ke Gramedia Plaza Ambarrukmo, Gramedia Malioboro, Social Agency dan toko buku lainnya. Kalo mau nyari, tempatnya di bagian Buku Laris atau Buku-buku Islam Populer (wee.. ternyata masuk kategori Islam Populer Rek!). Sebelahan sama Buku Zona Ikhlas-nya Erbe Sentanu dan serial Sedekah-nya Ustadz Yusuf Mansur. Hmmm... Lega deh sekarang jika ditanyain bukunya dimana Alhamdulillah sudah mulai nongkrong di display. Hope Buku TSP juga udah ready untuk dibawa pulang jika temen-temen mencarinya di toko buku lain. Saya akan melaporkan jika menemukan Buku TSP ini di toko lainnya, kebetulan akan ada kerjaan di Jakarta, Surabaya dan Bandung sehingga bisa mampir. Mohon doa dan dukungannya, semoga buku kecil ini bisa bermanfaat bagi teman-teman semua dan menjalankan fungsi sederhananya untuk mewartakan konsep Rahmatan lil 'Alamien ...

Jernih. Hening. Bening.

Jangan. Jangan habiskan seluruh energi dan waktu dalam hidupmu untuk memelototi kasus-kasus yang menyelimuti negeri ini beberapa pekan terakhir. Dengan segala penghormatan untuk aksi luar biasa yang telah ditunjukkan oleh elemen rakyat baik di dunia offline maupun online sebagai perwujudan cinta tanah airnya, masalah yang harus diselesaikan oleh anak bangsa masih begitu banyak, baik dalam level kebangsaan, kemasyarakatan maupun keluarga dan perorangan. Heninglah sejenak. Ambil jarak. Menjadi jernih dalam mengambil sikap adalah sebaik-baik pilihan.  Saya percaya, kasus KPK-Polisi-Kejaksaan-Masaro-Century-Bibit-Candra-Anggodo-Yulianto-dst. dengan segala implikasi dan side effect -nya telah ditangani oleh orang-orang yang terbaik yang dimiliki bangsa ini. Saya percayanya begitu. Yang harus saya ingatkan sekali lagi, apapun masalah yang terjadi adalah jalan yang dihadirkan untuk makin mendekatkan bangsa ini kembali pada Tuhan. Hari-hari yang melelahkan melihat kasus ini terus ber

Cermin Retak Kita

Yang benar sudah jelas Tentu kita, bukan mereka Yang salah sudah tegas Bukti-bukti sudah jelas Kita sudah tahu siapa Yang tak berbuat jadi terlibat Yang terlibat makin nekat Karena kiamat makin dekat Bergulung-gulung sapu menyapu Berputar-putar sambar menyembar Saling serang saling terkam Terjang menerjang tendang menendang Berpeluh, berpuluh-puluh, seluruh Lalu sepi, semua rubuh Tak tersisa rupa bahkan air mata Hanya tersisa Ia Yang geleng-geleng kepala Menyaksikan kebodohan umat-Nya

Preview Bab 1: Pulang

21 April 1997 Saat saya masih kecil, rasanya kenikmatan tertinggi sebagai anak sekolah adalah saat bisa pulang pagi karena bapak ibu guru ada rapat, ada pertemuan atau acara apapun sehingga tidak ada pelajaran. Sekolah Dasar yang biasanya selesai jam 12.00 dimajukan pulangnya jadi jam 10.00. Hanya 2 jam diskonnya, tapi bersama teman-teman saya langsung menyusun acara mau ngapain aja: maen bola, maen petakumpet atau perang-perangan. Indahnya tak terbayangkan! Saat beranjak dewasa, mendapatkan free time karena jadual acara yang ditunda atau dibatalkan kadang masih membuat saya gembira, meskipun mungkin tak bisa lepas seperti saat masih kanak-kanak. Resiko manusia yang beranjak tua adalah mulai didatangi masalah-masalah kehidupan, yang membuat hidupnya tak lepas lagi. Jika tertawa tak bisa sepenuhnya, jika pengin nangispun – demi gengsi – sebisa mungkin tak terdengar suaranya. Tapi saat-saat beban hidup menghimpit, saat pekerjaan meremukkan otak dan tulang, saat pandangan atas masa

Telah Terbit Buku Tuhan Sang Penggoda

Ini bukan buku memoar atau biografi, sama sekali bukan. Emangnya saya siapa kok berani-berani bikin biografi? Ini juga bukan tulisan ilmiah, novel apalagi kumpulan puisi. Atau Teka-teki Silang. Anda tahu lah bedanya. He he he... Ini hanyalah cermin kusam atas perjalanan hidup yang telah saya tapaki selama ini, yang menginjak angka 34. Sebuah angka yang lebih dari keramat. Gak ada alasan khusus mengapa saya menyebutnya demikian, mungkin karena angkanya hadir setelah 33. Sejujurnya, angka 33 inilah yang keramat. Jadi jangan kecewa jika banyak hal keramat dalam hidup kita ternyata tak jelas asal usul maupun konsepnya. Misalnya perusahaan yang saya dirikan bareng teman-teman - Petakumpet namanya -  juga sering bikin kecele orang. Saat ditanya mengapa namanya Petakumpet, saya jawab gak ada alasannya. Lho kok? Lha saya jujur kok emang awalnya nama lucu itu hanya terlintas begitu saja. Terjadilah yang mesti terjadi. Mungkin buku ini lebih pas disebut catatan harian seorang blogger kare

Pesta Blogger 2009

Apa kabar kawan-kawan semua? Para pembaca setia blog ini, Anda yang tak sengaja berkunjung, Anda yang menemukannya di medan per-google-an, Anda yang terjerumus jejak netter sebelumnya di warnet sehingga membaca tulisan ini: doa saya untuk kesuksesan, keselamatan dan keberlimpahan rejeki yang hinggap di kehidupan Anda sekalian, sahabat-sahabat saya semua. Atas persahabatan baik saya dengan Mas Iman Brotoseno (Chairman Pesta Blogger 2009), saya pun mulai berkenalan dengan teman-teman blogger negeri ini. Berawal dari blog, sudah 2 TVC saya garap bareng dengan Mas Iman: sebuah awal yang mungkin gak nyambung. Tapi begitulah hidup, nyambung gak nyambung: jalannya memang sudah dituliskan. Terakhir, saya menjadi saksi atas Pesta Blogger mini di JNM Jogja, 15 Oktober kemarin. Mengenang pertama kali saya ngeblog kira-kira 4 tahun lalu, rasanya baru kemarin saat teman-teman sekantor di Petakumpet rame-rame jadi blogger. Kurang lebih 15-an orang. Sebagian besar blog yang diawali dengan gega

Syawalan ADGI Jogja, 16 Okt 2009

Ke Ujung Senyap

Sampai kapan aku mesti menunggu Nasib berkeping terpenjara alam hidupmu Terseok melangkahi rentang waktu Rubuh dan berpeluh untuk seteguk madu Lalu kapan kuraih cahaya Tafakkur di balik dinding membara Berlari merajuti hayat semesta Tegak menenggak hakikat semesta Perjalanan ini semakin panjang Semakin letih tuk kaki merentang Terengah menengadah bersimbah darah Kutunggu ruang beradu waktu Merayap dalam malam yang gemerlap Aku sendiri berhening dalam makrifat Rembang Jogja (1993-2009)

Logika Politik yang Tidak Logis

Berapa modal yang diperlukan untuk sukses dalam politik? Jawabnya bisa bikin miris: untuk kelas legislatif kabupaten bisa sampai 300 juta rupiah, untuk bupati 10-30 milyar, untuk presiden kira-kira 1 triliun rupiah. Bisa lebih karena selalu ada biaya lain-lain. Darimana semua dana itu berasal? Dan berapa persen dari dana-dana tersebut yang terjaga kebersihan asal-usulnya? Prediksi saya, tingkat kebersihannya tak lebih dari separuhnya. Bisa lebih kecil karena dipotong biaya lain-lain. Tapi yang mengherankan saya, asal usul dana itu bukan sesuatu yang penting sebagai bahan pertimbangan dari para pelaku kontes politiknya. Tujuan untuk memenangkan pertarungan perebutan kursi jauh lebih-lebih penting dari pertanyaan sederhana saya tentang halal haramnya modal untuk bertarung tersebut. Mungkin justru saya yang naif, politik kok ngomong halal haram. Politik itu menang kalah, berkuasa atau dikuasai, mengumpulkan harta atau diperas hartanya, Berjaya di singgasana atau tersingkir. Me

Kembali ke Dunia Nyata

L ibur lebaran usai sudah. Hari ini, 28 Oktober kantor sudah mulai buka. Aktivitas bisnis akan mulai berdenyut lagi. Hari-hari yang riuh, kerjaan yang mulai hadir mengisi keseharian, order yang membanjir, deadline yang menyergap, semua itu akan mengembalikan kesadaran kita bahwa dunia nyata telah menyapa. Setelah menyelesaikan puasa satu bulan, mengumpulkan kenangan dan kehangatan dalam silaturrahim lebaran, seharusnya itu bias menjadi bekal yang menguatkan kita untuk menjalani hari-hari baru dengan semangat baru, dengan cara-cara baru, dengan ilmu-ilmu baru. Bukannya tenggelam lagi dengan cara lama, stress yang makin parah dan kepayahan yang makin berat kita panggul. Kejernihan untuk menatap hari-hari panjang masa depan dengan seribu problematikanya akan membuat hidup kita utuh tak pecah berkeping. Jiwa kita adlaha harta kita yang termahal, jangan korbankan hanya untuk mengejar hal-hal remeh dalam kehidupan. Jangan lagi kita pecundangi dengan kepalsuan-kepalsuan. Jangan kita b

Teman Lama, Kisah Baru

Bertemu teman lama seolah melengkapi puzzle kehidupan kita. Yang mungkin sempat terkeping ketika kita jauh dari tempat asal, jauh dari kultur yang membesarkan kita, jauh dari mereka yang saat kita sedang tumbuh mengeja kehidupan senantiasa bersama menemani kita. Dan moment itu seringkali tiba ketika lebaran tiba, syawalan, halal bi halal. Mengetahui prestasi apa yang dicapai kawan-kawan kecil kita dulu, bertukar cerita, me- rewind kisah lama dan menghidupkan sejarah sehingga up to date kembali: selalu mengasyikkan. Sejenak melepas beban dan memberikan variasi asupan informasi dan otak kita sehingga lebih fresh dan lebih siap saat waktunya tiba untuk menyelesaikan persoalan riil kita sehari-hari di waktu selanjutnya. Tentu saja sambil bercermin adakah upaya kita di masa lalu telah cukup maksimal atau ternyata masih jauh dari harapan. Teman-teman lama kita menjadi cermin untuk melihat diri kita sendiri di kebeningan mata mereka. Juga sharing, saling belajar, saling mendoaka

Successfully Selling Fresh Ideas with Petakumpet

By: Restituta Ajeng Arjanti Becoming a creative person, according to Arief Budiman, is not a difficult thing. “If everyday we want to think differently, it means we're creative,” he said when contacted by QBHeadlines.com via telephone, Wednesday (29/10). The man born in Rembang, March 21, 1975, is one of creative people who initiated Petakumpet/Hideandseek, a company in advertising sector that has frequently receive advertising awards. Becoming a commander of Petakumpet Creative Network business since 1999, there's one dream that Arief longs for. The Managing Director of Petakumpet wants to make his company to be “the most creative company in the world” and covered in international business magazine, Fortune Magazine. Creative Agency The company whose name, according to Arief, was taken randomly positions itself as a creative bridge between clients and various media, either printed, audio, visual, or audiovisual. What they sell is fresh ideas. The main business of the c

HOT NEWS: Lowongan Sampe 29 Agustus 2009