Skip to main content

Kekuatan Konsistensi

Mudahkah untuk menjadi konsisten? Bener, mudah di mulut. Tapi setengah mati dikerjakan. Jadi saya pun mengamini ketika ada yang mengatakan bahwa untuk menjadi kebiasaan, sebuah perilaku yang baik harus dilakukan terus menerus minimal 40 hari. Ini agar secara integral: hati, otak dan fisik kita dibiasakan untuk menerima perilaku baru dan berakrab-akrab dengannya sehingga tak timbul penolakan dalam pelaksanaannya. Sehingga perilaku baru itu tak asing.

Misalnya yang paling sederhana: bangun pagi. Jam berapa Anda bangun pagi? Jam 4, jam 5 atau jam 8? Seorang teman yang pernah melihat saya bangun pagi jam 6, sambil menelungkupkan selimutnya bilang,"Ngapain bangun sepagi ini Rief, kayak petani aja!"

Dia biasa bangun jam 11 siang.

OK, misalnya kebiasaan bangun jam 8 pagi deh dan pengen bangun jam 4 pagi supaya bisa jamaah Subuh. Bagus to? Udara pagi yang sejuk menyegarkan paru-paru, membuat pikiran jernih dan sholat subuh berjamaah ditambah sholat Fajar kebaikannya lebih dari dunia seisinya. So, gimana prakteknya?

Tentulah tak bisa langsung besok pagi jam 4 buka mata dan bersemangat ambil air wudlu lantas meluncur ke mesjid. Pastinya menjelang jam 4 kantuknya bakal makin berat, jam weker yang bunyinya super kenceng terdengar kayak di-silent. Atau jika terdengar juga bakal dilempar membentur dinding. Atau dimatikan buru-buru. Mencoba membuka mata, beratnya minta ampun. Buka sedikit, tutup lagi. Memaksa diri bangkit dari tempat tidur, kasur empuk jadi magnet yang menariknya kembali. Begitu terus.

Alhasil, bener-bener bisa bangun baru jam 7. Menyesal minta ampun kenapa tidak memenuhi komitmen. Lalu melangkah dengan gontai ke kamar mandi sambil menyalahkan dirinya yang tak berjuang lebih keras. Lalu menjelang berangkat tidur lagi di malam hari bertekad bangun lagi jam 4 besok paginya.

Kemungkinannya adalah, jika ia terus-menerus berjuang dan konsisten, maka bangun jam 4 pagi akan menjadi kebiasaan yang natural. Tak perlu weker, tak perlu bertarung melawan kasur, tak perlu menyiksa diri dengan memaksa bangun. Praktekkan selama 40 hari terus menerus: kebiasaan baik itu akan jadi milik kita sepenuhnya.

Tapi jika besok paginya ia mencoba lalu gagal dan menyerah: maka selesailah upaya itu. Dia akan bangun jam 8 terus menerus. Rasa percaya dirinya akan runtuh dan menganggap bangun jam 4 itu sesuatu yang tidak mungkin. Atau tidak perlu. Yang paling parah: ia akan menyalahkan orang lain yang biasa bangun jam 4. Padahal sebabnya karena ia tidak mampu, meskipun ia tahu bangun jam 4 itu baik.

Begitulah manusia, dan konsistensi adalah ujian dasar dari Tuhan untuk mengukur kekuatan kemauan kita. The power of will. Tanpa kemauan yang kuat, teguh dan sabar mengelola tantangan: kita hanya akan jadi manusia biasa-biasa saja.

Lihatlah Obama yang berteriak: Yes We Can! Jutaan orang di Amerika mengikutinya: Yes We Can! Karena Obama memulainya dari lubuk hatinya yang paling dalam. Karena Obama konsisten selama 21 bulan masa kampanyenya dan tetap bertahan saat badai menghadang. Yes We Can yang keluar dari mulut Obama ada ruhnya, beda jauh jika yang bilang politisi Indonesia.

Mari kita belajar bersama-sama. Sayapun masih terus belajar. Menjadi konsisten memang tak mudah, tapi bukan tidak mungkin. Yes We Can!

Comments

Anonymous said…
Usaha yang dibangun atas ide bagus, prinsip yang kuat, dan modal yang besar takkan bisa bertahan tanpa adanya konsistensi. Selama apapun dan bagaimanapun keadaan serta beratnya hambatan-hambatan yang ditemui, jika konsistensi tetap dijalankan, Insya Allah, jalan menuju cita-cita pasti terbentang.

Saya sedang belajar melatih konsistensi, tapi tanpa tenggat waktu. Nah, saran mas Arief soal mencoba selama 40 hari berturut-turut ini baru sekali saya dengar. Mungkin dengan target waktu, rencana tersebut lebih realistis dan lebih mungkin tercapai.

Salam.

Popular posts from this blog

Kunci Sukses Bisnis (3)

Sempat terjadi dalam periode kehidupan saya saat awal-awal bersama teman-teman memulai Petakumpet, waktu 24 jam sehari rasanya tak cukup. Hari-hari itu begitu melelahkannya, rasanya tak kuat saya menyelesaikan begitu banyak tanggung jawab menyangkut komunitas, pekerjaan, kehidupan persoanl saya yang berantakan. Saya pun mengadu pada Allah,"Ya Allah, jika sehari bisa lebih dari 24 jam rasanya saya akan punya kesempatan lebih banyak untuk menyelesaikan semua tanggung jawab saya..." Tapi rasanya Allah tak mendengar doa saya. Atau saya nya yang tak punya kemampuan mendengarkan-Nya. Pekerjaan seperti nya mengalir tak habis-habis, ada duitnya emang, tapi duit nya pun mengalir lancar keluar tak pernah terpegang barang sebentar. Hidup saya begitu capeknya, badan pegel-pegel tiap malam, Sabtu Minggu pun dihajar pekerjaan. Saat-saat seperti itu, saya melihat buku karangan Stephen Covey The Seven Habits of Highly Effective People di Shopping Center (pusat buku murah) Jogja. Dengan

Jadual Diskusi dan Bedah Buku

Berikut beberapa jadual diskusi, talk show atau bedah buku yang udah masuk di Bulan Ramadhan (September) sekaligus menjawab beberapa imel yang menanyakan ke saya kapan ada diskusi buku Jualan Ide Segar: Bedah Buku Jualan Ide Segar (M. Arief Budiman) dan Mata Hati Iklan Indonesia (Sumbo Tinarbuko) di Diskomvis FSR ISI Yogyakarta. Kamis, 11 September 2008 jam 15.00 - 18.00 WIB. Juga menampilkan Sujud Dartanto sebagai pembahas. Untuk Mahasiswa ISI Jogja dan Umum (Free) Ngopi Bareng Penjual Ide Segar di Melting Pot, Sabtu, 13 September 2008, 20.00 - 22.00 WIB, Untuk Umum HTM Rp 15.000,- (Free 1 cup Coffee) Sarasehan Keajaiban Berbisnis Ide di ADVY (Akademi Desain Visi Yogyakarta), Senin, 15 September 2008, 09.00 - 12.00 WIB, untuk Mahasiswa ADVY (Free) Yang segera menyusul adalah Diskusi dan Bedah Buku di Jurusan Komunikasi UGM, semoga juga bisa terlaksana di Bulan September ini. Buat temen-temen silakan hadir untuk meramaikan proses belajar kreatif yang tentu saja sangat fun dan menyena

Filosofi Ember

Mengapa kita yang telah bekerja keras dari pagi buta sebelum subuh sampai lepas Isya' bahkan larut malam sampe rumah, tapi rezeki tetep seret? Mengapa kita telah membanting tulang sampai capek-capek pegal tapi ATM  tetap kosong dan tiap tengah bulan keuangan masih minus? Mengapa uang yang puluhan tahun kita kumpulkan sedikit demi sedikit tiba-tiba habis tandas didongkel maling saat kita pergi? Mengapa kita sakit-sakitan tak kunjung sembuh? Mengapa hidup ini makin lama makin sulit kita jalani dan rasa-rasanya kebahagiaan itu cuma milik orang lain dan bukan kita? Saya mengalami sendiri sulitnya mencari jawaban, saat pertanyaan di atas tak sekedar memenuhi kepala saya tapi menyatu dalam setiap tarikan nafas saya. Rasa bingung itu, capek itu, gelapnya perasaan saat membentur dinding yang tebal dan tinggi, sesak nafas saat masalah-masalah memuncak. Pencarian itu membawa saya pada sebuah benda: ember .  Ember? Kok? Bagaimana bisa ember menjawab persoalan seberat