Skip to main content

Happiness is Priceless

Kesuksesan apapun yang telah Anda dapatkan, jangan sampai memenjarakan diri, otak dan hati Anda. Karena yang terpenting - di ujung semua upaya kerja keras kita - apa sih yang sebenarnya kita cari? Ya, dengan susah payah kita mencari kebahagiaan: sometimes dengan cara yang lurus-lurus aja, kadang belak-belok bahkan nyerempet bahaya. Tapi dimana sebenarnya kebahagiaan?

Setiap hari, Tuhan selalu - tak pernah alpa - mengguyur alam semesta ini dengan butir-butir kebahagiaan dalam jumlah tak terbatas. Tapi memang, tak semua bisa melihatnya, merasakannya di kedalaman hatinya masing-masing.

Dalam setiap moment, saya selalu mencoba untuk menangkap sepercik kebahagiaan itu. Saya menyebutnya stealing happiness, mencuri kebahagiaan di sela-sela kesibukan.

Misalnya: saya selalu mencoba fokus 100% saat sedang menikmati makanan di atas meja. Pikiran tercurah di sana, hp saya silent atau off, saya tidak ingin diganggu dalam moment penting saat memasukkan makanan sebagai sumber energi ke tubuh saya. Saya selalu merasa kasihan setiap berada di warung makan atau buffet di hotel (ini jika ada yang mbayarin) melihat seseorang bertampang eksekutif sukses sedang makan sambil tergesa-gesa mengangkat hpnya, mondar-mandir, minta maaf sama temannya yang makan bareng lalu balik lagi. Makan satu dua sendok, hpnya yang nyaring berbunyi lagi. Diangkat lagi, ngobrol dengan buru-buru lalu makan dengan tidak tenang.

Pssttt, ini rahasia diantara kita aja: Anda pernah begitu juga kan? Saya pun dulu begitu, it's OK. Tapi sekarang tidak lagi.

Untuk menyebut satu lagi, saya adalah penggemar sore hari. Moment satu atau dua jam menjelang sunset selalu amazing buat saya. Di sela kesibukan presentasi, pitching atau di tengah kemacetan lalu lintas (jika sedang di Jakarta) saya selalu mencoba menikmati keindahan tata cahaya sore itu dengan penuh rasa syukur. Ketegangan yang memuncak di siang hari, kekesalan pada peristiwa buruk hari itu, seolah bisa ter-delete sempurna saat ada ruang hening ketika hati saya bersapaan dengan cahaya menjelang senja. Di saat seperti itu, saya betul-betul tak ingin diganggu.

Jika saya sedang butuh ide dahsyat: saya akan menghentikan semua gangguan. Tak ada telepon, tak ada obrolan, tak ada staf yang ingin ketemu. Saya akan duduk tenang menyerap warna kuning keemasan, menghirup secangkir kopi atau teh, menikmati lalu lalang orang dimandikan cahaya dan bersyukur dengan hati yang penuh. Saat proses download kebahagiaan itu selesai (bisa 15 menit bisa 1 jam): saya akan berinteraksi lagi. Eksplorasi lagi, presentasi lagi, brainstorm lagi seringkali sampai tengah malam dalam kondisi full energy.

Tidak mudah untuk menyayangi diri kita dengan cara sesederhana ini. Tak semua orang berani. Yang paling sering kita akan mengikuti budaya yang sudah umum: waktunya kerja ya kerja. Setiap saat hp harus nyala 24 jam seolah dunia selalu dalam bahaya sehingga alarm emergency di otak kita terus berdering. Betapa melelahkan hidup dengan cara seperti itu: jiwa raga diforsir terus menerus tak pernah di-recharge.

Mari selamatkan hidup kita dari rongrongan beban pekerjaan dengan kembali ke hal-hal sederhana. Kebahagiaan harus kita perjuangkan, meski tak harus dengan gegap gempita.

Mungkin bisa kita mulai dengan sebuah sms sederhana: Boss, meetingnya kita undur setengah jam lagi ya. Saya sedang nyeruput secangkir kopi kental dan sepiring ketela goreng kepul-kepul ditemani sunset yang luar biasa indah.

Happiness is priceless. Berani mencoba?

Comments

atma said…
sudah mas, dan itu menyenangkan, meski kadang takut2 juga :P (hehehe)

hidup hanya sekali, jika bukan untuk "tujuan kita masing2"(yg bisa didalamnya u/ orang laen juga), untuk apalagi...

jawabnya : buanyakkkk :P (hahahahahahaha)

Popular posts from this blog

Kunci Sukses Bisnis (3)

Sempat terjadi dalam periode kehidupan saya saat awal-awal bersama teman-teman memulai Petakumpet, waktu 24 jam sehari rasanya tak cukup. Hari-hari itu begitu melelahkannya, rasanya tak kuat saya menyelesaikan begitu banyak tanggung jawab menyangkut komunitas, pekerjaan, kehidupan persoanl saya yang berantakan. Saya pun mengadu pada Allah,"Ya Allah, jika sehari bisa lebih dari 24 jam rasanya saya akan punya kesempatan lebih banyak untuk menyelesaikan semua tanggung jawab saya..." Tapi rasanya Allah tak mendengar doa saya. Atau saya nya yang tak punya kemampuan mendengarkan-Nya. Pekerjaan seperti nya mengalir tak habis-habis, ada duitnya emang, tapi duit nya pun mengalir lancar keluar tak pernah terpegang barang sebentar. Hidup saya begitu capeknya, badan pegel-pegel tiap malam, Sabtu Minggu pun dihajar pekerjaan. Saat-saat seperti itu, saya melihat buku karangan Stephen Covey The Seven Habits of Highly Effective People di Shopping Center (pusat buku murah) Jogja. Dengan

Jadual Diskusi dan Bedah Buku

Berikut beberapa jadual diskusi, talk show atau bedah buku yang udah masuk di Bulan Ramadhan (September) sekaligus menjawab beberapa imel yang menanyakan ke saya kapan ada diskusi buku Jualan Ide Segar: Bedah Buku Jualan Ide Segar (M. Arief Budiman) dan Mata Hati Iklan Indonesia (Sumbo Tinarbuko) di Diskomvis FSR ISI Yogyakarta. Kamis, 11 September 2008 jam 15.00 - 18.00 WIB. Juga menampilkan Sujud Dartanto sebagai pembahas. Untuk Mahasiswa ISI Jogja dan Umum (Free) Ngopi Bareng Penjual Ide Segar di Melting Pot, Sabtu, 13 September 2008, 20.00 - 22.00 WIB, Untuk Umum HTM Rp 15.000,- (Free 1 cup Coffee) Sarasehan Keajaiban Berbisnis Ide di ADVY (Akademi Desain Visi Yogyakarta), Senin, 15 September 2008, 09.00 - 12.00 WIB, untuk Mahasiswa ADVY (Free) Yang segera menyusul adalah Diskusi dan Bedah Buku di Jurusan Komunikasi UGM, semoga juga bisa terlaksana di Bulan September ini. Buat temen-temen silakan hadir untuk meramaikan proses belajar kreatif yang tentu saja sangat fun dan menyena

Filosofi Ember

Mengapa kita yang telah bekerja keras dari pagi buta sebelum subuh sampai lepas Isya' bahkan larut malam sampe rumah, tapi rezeki tetep seret? Mengapa kita telah membanting tulang sampai capek-capek pegal tapi ATM  tetap kosong dan tiap tengah bulan keuangan masih minus? Mengapa uang yang puluhan tahun kita kumpulkan sedikit demi sedikit tiba-tiba habis tandas didongkel maling saat kita pergi? Mengapa kita sakit-sakitan tak kunjung sembuh? Mengapa hidup ini makin lama makin sulit kita jalani dan rasa-rasanya kebahagiaan itu cuma milik orang lain dan bukan kita? Saya mengalami sendiri sulitnya mencari jawaban, saat pertanyaan di atas tak sekedar memenuhi kepala saya tapi menyatu dalam setiap tarikan nafas saya. Rasa bingung itu, capek itu, gelapnya perasaan saat membentur dinding yang tebal dan tinggi, sesak nafas saat masalah-masalah memuncak. Pencarian itu membawa saya pada sebuah benda: ember .  Ember? Kok? Bagaimana bisa ember menjawab persoalan seberat