Skip to main content

Jika Jadi Orang Kaya

Seorang sobat lama bertanya pada saya,"Rief, jika suatu hari nanti engkau menjadi sangat kaya: apakah kepribadian dan dirimu akan berubah sesuai dengan jumlah kekayaanmu itu?"

Saya tegas menjawab,"Tidak, tidak akan ada yang berubah kawan. Sejak awal saya sudah membiasakan diri untuk kaya, secara mental sobatmu ini telah siap kaya. Bagaimana tidak? Saya membaca majalah Fortune, Time, Business Week - bacaan orang kaya - meskipun beli eceran atau mesti nunggu bekasnya nongol di shopping centre. Saya juga kemana-mana disopirin setiap naik mobil, baik mobil kantor warna oranye yang tanpa AC ataupun bis angkutan umum: sorry aja, saya tak pernah nyopir sendiri. Hmmm, karena emang belum lihai nyopir soalnya. He he he..."

Sobat saya ingin menyela, tapi langsung saya dahului,"Oke, mungkin bukan itu jawaban yang kau maksudkan. Kamu berfikir bahwa kekayaan akan membuat kita pelan-pelan jadi sombong, egois, semena-mena dan sok kuasa. Don't worry, saya tetap tak akan berubah. Beberapa orang telah menuduh saya arogan meskipun saya sudah ngaku secara lahiriah miskin. So, emang ada bakat arogan di diri saya, jadi pantes dong jika suatu hari saya kaya. Dan ya, saya egois jika berbicara menyangkut idealisme. Saya selalu ingin semena-mena terhadap kebatilan dan sok kuasa terhadap kedholiman. Penginnya sih begitu, tapi ya itu tadi: berbakat kaya dan menjadi kaya sebenarnya adalah hal yang berbeda."

Sobat saya mulutnya sudah terbuka siap melontarkan beberapa kata, tapi saya langsung nyerocos,"Ya, saya paham maksudmu. Kamu mau menuduhku sok bagi-bagi duit, sok kelebihan harta, sok sedekah: padahal hidup masih banyak kekurangan dan kemana-mana cuma naik motor doang. Oke, kelak jika kekayaan itu hadir: saya tetaplah orang yang sama: yang akan sok bagi-bagi, sok ngasih, sok sedekah. Toh, kamupun akan berpendapat: lihat itu mentang-mentang kaya bagi-bagi harta. Jadi semua yang dilakukan saat saya masih miskin maupun setelah kaya tetap saja salah di matamu: lalu buat apa saya mendasarkan yang akan saya lakukan dari sudut pandangmu, dari sudut pandang orang lain. Hanya satu yang sah: sudut pandang Tuhan."

Sobat saya mengacungkan tangannya memaksa bicara, saya sigap menutup mulutnya sambil bersabda,"Mau menuduhku sok spiritual kan? Walah Bro, kita ini masih sama-sama miskin mbok bersyukur saja bareng-bareng. Tak usah sibuk menyalahkan orang lain, tak usah ribut menggunjingkan dosa orang lain. Lebih baik bercermin, beristighfar."

Sobat saya marah, mukanya merah padam, mengibaskan tangan saya dan dengan nada tinggi berucap,"Kamu sok tahu. Tadi aku mau ngobrol tentang kekayaan soalnya butuh mau pinjem uang kamu malah diajak ngomyang ngalor ngidul sok ngonsep. Ada nggak dua ratus ribu, sini pinjem dulu."

Saya melongo,"Lho, aku kan belum kaya Broooo..."

Comments

Wakakakakaka...
Jebul...??
Tiwas sing moco serius...
Tapi yo apik sie...
Kere-Sugih yen isoh sedekah...
Siip!!!!
Anonymous said…
mwhahaha..ternyata mo pinjem uang mas ya..haha tpi pertanyaan awalnya juga kok mesti gitu jadi persepsi macam2 mas ya...
Anonymous said…
hehe apik iki post e cerdas
BIGRACE said…
duh Gusti, urip iki kok yo angel tenan...
hahahaha...
Antown said…
sudah lama nih say agak berkunjung lagi. pkbr petakumpet? saya jadi teringat lagi momen2 indah waktu di jogja.

btw, kalo pinjam uang nggak perlu ke bank ya, mas. disana ntar kena bunga. pinjemnya di mas aja (kalo sudah kaya) hehee...

Popular posts from this blog

Kunci Sukses Bisnis (3)

Sempat terjadi dalam periode kehidupan saya saat awal-awal bersama teman-teman memulai Petakumpet, waktu 24 jam sehari rasanya tak cukup. Hari-hari itu begitu melelahkannya, rasanya tak kuat saya menyelesaikan begitu banyak tanggung jawab menyangkut komunitas, pekerjaan, kehidupan persoanl saya yang berantakan. Saya pun mengadu pada Allah,"Ya Allah, jika sehari bisa lebih dari 24 jam rasanya saya akan punya kesempatan lebih banyak untuk menyelesaikan semua tanggung jawab saya..." Tapi rasanya Allah tak mendengar doa saya. Atau saya nya yang tak punya kemampuan mendengarkan-Nya. Pekerjaan seperti nya mengalir tak habis-habis, ada duitnya emang, tapi duit nya pun mengalir lancar keluar tak pernah terpegang barang sebentar. Hidup saya begitu capeknya, badan pegel-pegel tiap malam, Sabtu Minggu pun dihajar pekerjaan. Saat-saat seperti itu, saya melihat buku karangan Stephen Covey The Seven Habits of Highly Effective People di Shopping Center (pusat buku murah) Jogja. Dengan

Jadual Diskusi dan Bedah Buku

Berikut beberapa jadual diskusi, talk show atau bedah buku yang udah masuk di Bulan Ramadhan (September) sekaligus menjawab beberapa imel yang menanyakan ke saya kapan ada diskusi buku Jualan Ide Segar: Bedah Buku Jualan Ide Segar (M. Arief Budiman) dan Mata Hati Iklan Indonesia (Sumbo Tinarbuko) di Diskomvis FSR ISI Yogyakarta. Kamis, 11 September 2008 jam 15.00 - 18.00 WIB. Juga menampilkan Sujud Dartanto sebagai pembahas. Untuk Mahasiswa ISI Jogja dan Umum (Free) Ngopi Bareng Penjual Ide Segar di Melting Pot, Sabtu, 13 September 2008, 20.00 - 22.00 WIB, Untuk Umum HTM Rp 15.000,- (Free 1 cup Coffee) Sarasehan Keajaiban Berbisnis Ide di ADVY (Akademi Desain Visi Yogyakarta), Senin, 15 September 2008, 09.00 - 12.00 WIB, untuk Mahasiswa ADVY (Free) Yang segera menyusul adalah Diskusi dan Bedah Buku di Jurusan Komunikasi UGM, semoga juga bisa terlaksana di Bulan September ini. Buat temen-temen silakan hadir untuk meramaikan proses belajar kreatif yang tentu saja sangat fun dan menyena

Filosofi Ember

Mengapa kita yang telah bekerja keras dari pagi buta sebelum subuh sampai lepas Isya' bahkan larut malam sampe rumah, tapi rezeki tetep seret? Mengapa kita telah membanting tulang sampai capek-capek pegal tapi ATM  tetap kosong dan tiap tengah bulan keuangan masih minus? Mengapa uang yang puluhan tahun kita kumpulkan sedikit demi sedikit tiba-tiba habis tandas didongkel maling saat kita pergi? Mengapa kita sakit-sakitan tak kunjung sembuh? Mengapa hidup ini makin lama makin sulit kita jalani dan rasa-rasanya kebahagiaan itu cuma milik orang lain dan bukan kita? Saya mengalami sendiri sulitnya mencari jawaban, saat pertanyaan di atas tak sekedar memenuhi kepala saya tapi menyatu dalam setiap tarikan nafas saya. Rasa bingung itu, capek itu, gelapnya perasaan saat membentur dinding yang tebal dan tinggi, sesak nafas saat masalah-masalah memuncak. Pencarian itu membawa saya pada sebuah benda: ember .  Ember? Kok? Bagaimana bisa ember menjawab persoalan seberat