Skip to main content

Ketika Kematian Menjemput

Apa yang sebaiknya dilakukan terhadap tubuh saya jika saya meninggal kelak? Pertanyaan ini terus mengganggu saya, apalagi karena saya sendiri tidak tahu apakah tubuh saya akan utuh atau terpisah-pisah bahkan hangus saat meninggal.. Saya sungguh tak tahu takdir Tuhan buat kematian saya. Saya tak bisa memilih cara mati saya kan?

Atau bolehlah berdoa: semoga saya meninggal dengan tubuh utuh. Untuk opsi ini, saya memilih untuk menyumbangkan organ tubuh saya buat yang membutuhkan. Cangkok mata, ginjal - terserah bagian mana yang dibutuhkan - asal bisa memberikan kemanfaatan akan saya ikhlaskan. Tapi apakah tubuh saya cukup steril dari penyakit sehingga layak disumbangkan? Entahlah, itu tugas dokter buat memastikannya. Bukan tugas saya.

Jika tidak utuh, tentu saja akan merepotkan buat yang merawatnya. Mau dimandiin pasti bikin ngeri yang mandiin. Paling-paling dibersihin di rumah sakit, dikafanin, dimasukin peti dan gak boleh dibuka saat sampe rumah duka. Mau disumbangin juga agak susah jika ketidaklengkapannya parah, mending dikubur aja biar menyatu dengan tanah.

Pilihan ketiga, jika misalnya saya meninggal saat naik pesawat yang meledak dan hancur berkeping-keping atau bahkan tak bersisa: urusan kematiannya bisa jadi lebih sederhana. Yang susah justru jika kelak ada yang memerlukan mengunjungi kubur saya: kuburnya kan gak ada. Biar saja mereka menengadah di langit dan merasakan hembus angin yang mengandung partikel tubuh saya dengan ukuran mikron melayang-layang di antara pelangi dan awan.

Saya masih ingin merenungkan lagi dalam-dalam keputusan saya. Cuma ada beberapa sih yang udah fix saya harapkan: saya nggak ingin ada bunga duka cita di kuburan saya. Bunga -apalagi yang plastik - akan menjadi sampah dan mengotori kuburan. Merusak kesuburan tanah. Kesannya bangga sih jika ada banyak bunga di depan (yang meninggal pasti dituduh tokoh), tapi jika kita sudah mati kebanggaan itu tak berguna. Biarlah jika ada yang pengin banget nyumbang, bentuknya uang saja agar bisa diteruskan ke tangan yang lebih berhak: yatim piatu, fakir miskin, korban bencana alam, panti jompo, perawat anak cacat atau mesjid.

Saya juga ingin kuburan saya biasa-biasa aja. Jangan dibikin mewah berjuta-juta. Cukuplah dikasih tanda batu yang agak lebar bertuliskan: Kembangkanlah kemampuanmu setinggi mungkin sehingga Tuhanpun akan berkonsultasi denganmu sebelum menentukan takdir-Nya untukmu (dikutip dari M. Iqbal). Semoga ketika ada yang berziarah, saya masih bisa mentransfer semangat saya ketika masih hidup dulu. Mungkin akan ada manfaatnya. Mungkin...

Ah, entahlah. Kadang kematian begitu menghantui tapi kadang terlupakan seperti hembus angin. Semoga kematian bisa membuat kita semua bercermin.

Karena jika kita tak siap mati, kemungkinan besar kita juga tak siap untuk melanjutkan kehidupan...

Comments

dikisatya said…
Hehehe..

Satu lagi orang yang terobsesi akan kematian.

Salam kenal, Mas!
Syukurlah, mas Diki bisa kenalan ketika saya masih hidup.. He he he :) Btw, sebetulnya saya tidak begitu terobsesi. Buat saya kematian hanyalah hal yang biasa saja, seperti makan, bikin surat cinta, baca komik atau bikin lay out iklan. Orang-orang kita aja yang kadang tabu membicarakan hal ini, takut kualat.. Dengan nulis ini mungkin saya udah terlanjur kualat, he he he :)
Ekhu said…
mas arif, ada orang yang pengen cepet mati untuk lari dari masalah, pengecut ya?? juga tak sedikit orang yang takut akan kematian bahkan tak berani membicarakannya, apa juga tak temasuk pengecut.
mati adalah bagian yang seharusnya kita nikmati bukan ?? sama seperti kita menikmati dan memaknai hidup..
jadi berani kita menjalani hidup, juga tak perlu takut menghadapi kematian andai waktu yang ditentukan telah tiba, dan bekal menuju kematian telah cukup.
lantas pertanyaannya apakah bekal kita menghadapi kematian telah cukup???
(hi..)

Popular posts from this blog

Kunci Sukses Bisnis (3)

Sempat terjadi dalam periode kehidupan saya saat awal-awal bersama teman-teman memulai Petakumpet, waktu 24 jam sehari rasanya tak cukup. Hari-hari itu begitu melelahkannya, rasanya tak kuat saya menyelesaikan begitu banyak tanggung jawab menyangkut komunitas, pekerjaan, kehidupan persoanl saya yang berantakan. Saya pun mengadu pada Allah,"Ya Allah, jika sehari bisa lebih dari 24 jam rasanya saya akan punya kesempatan lebih banyak untuk menyelesaikan semua tanggung jawab saya..." Tapi rasanya Allah tak mendengar doa saya. Atau saya nya yang tak punya kemampuan mendengarkan-Nya. Pekerjaan seperti nya mengalir tak habis-habis, ada duitnya emang, tapi duit nya pun mengalir lancar keluar tak pernah terpegang barang sebentar. Hidup saya begitu capeknya, badan pegel-pegel tiap malam, Sabtu Minggu pun dihajar pekerjaan. Saat-saat seperti itu, saya melihat buku karangan Stephen Covey The Seven Habits of Highly Effective People di Shopping Center (pusat buku murah) Jogja. Dengan

Jadual Diskusi dan Bedah Buku

Berikut beberapa jadual diskusi, talk show atau bedah buku yang udah masuk di Bulan Ramadhan (September) sekaligus menjawab beberapa imel yang menanyakan ke saya kapan ada diskusi buku Jualan Ide Segar: Bedah Buku Jualan Ide Segar (M. Arief Budiman) dan Mata Hati Iklan Indonesia (Sumbo Tinarbuko) di Diskomvis FSR ISI Yogyakarta. Kamis, 11 September 2008 jam 15.00 - 18.00 WIB. Juga menampilkan Sujud Dartanto sebagai pembahas. Untuk Mahasiswa ISI Jogja dan Umum (Free) Ngopi Bareng Penjual Ide Segar di Melting Pot, Sabtu, 13 September 2008, 20.00 - 22.00 WIB, Untuk Umum HTM Rp 15.000,- (Free 1 cup Coffee) Sarasehan Keajaiban Berbisnis Ide di ADVY (Akademi Desain Visi Yogyakarta), Senin, 15 September 2008, 09.00 - 12.00 WIB, untuk Mahasiswa ADVY (Free) Yang segera menyusul adalah Diskusi dan Bedah Buku di Jurusan Komunikasi UGM, semoga juga bisa terlaksana di Bulan September ini. Buat temen-temen silakan hadir untuk meramaikan proses belajar kreatif yang tentu saja sangat fun dan menyena

Filosofi Ember

Mengapa kita yang telah bekerja keras dari pagi buta sebelum subuh sampai lepas Isya' bahkan larut malam sampe rumah, tapi rezeki tetep seret? Mengapa kita telah membanting tulang sampai capek-capek pegal tapi ATM  tetap kosong dan tiap tengah bulan keuangan masih minus? Mengapa uang yang puluhan tahun kita kumpulkan sedikit demi sedikit tiba-tiba habis tandas didongkel maling saat kita pergi? Mengapa kita sakit-sakitan tak kunjung sembuh? Mengapa hidup ini makin lama makin sulit kita jalani dan rasa-rasanya kebahagiaan itu cuma milik orang lain dan bukan kita? Saya mengalami sendiri sulitnya mencari jawaban, saat pertanyaan di atas tak sekedar memenuhi kepala saya tapi menyatu dalam setiap tarikan nafas saya. Rasa bingung itu, capek itu, gelapnya perasaan saat membentur dinding yang tebal dan tinggi, sesak nafas saat masalah-masalah memuncak. Pencarian itu membawa saya pada sebuah benda: ember .  Ember? Kok? Bagaimana bisa ember menjawab persoalan seberat