Skip to main content

Transfer System in Creative World



Saya sedang mencoba merancang usulan sistem transfer staf kreatif antar perusahaan (hope skup-nya bisa nasional dulu) untuk antisipasi kutu loncat dan pindah berombongan. Bukan bermaksud menghalangi itu semua tapi ingin agar perpindahan itu bisa diatur dan antar perusahaan terjalin hubungan harmonis dan tidak saling merugikan.

Sistemnya mengacu di sistem transfer pemain bola atau basket. Jadi saat terjadi perpindahan staf kreatif atau manajer atau jabatan apapun, perusahaan yang mendapatkan sdm tersebut selain menggaji stafnya juga membayar fee yang cukup buat perusahaan asalnya. Dengan fee tersebut perusahaan asal bisa merekrut staf yang baru, mengirimnya ke seminar, pelatihan, workshop, whatever untuk pengembangan kemampuan attitude dan skill-nya.

Yang bakal jadi FIFA-nya buat ngatur itu semua ya asosiasi atawa PPPI di levelnya masing-masing. Kira-kira segitu dulu deh ide dasarnya, saya mohon bantuan pemikiran teman-teman.

Feed Back:

Greg wrote:

Gagasan Inovasi yg buwagus Bunk..!! Apreciate 4 u!


Sistem transfer pemain (baca: karyawan) kreatif di perusahaan periklanan memang sekilas sangat menarik bung, dan mari kita tengok sebentar pola ala sepak bola ini:

  1. Transfer fee untuk klub ditentukan oleh negoisasi kedua pihak dari penawaran yg dibuka oleh pihak I. Jadi disini kita perlu menggolongkan berbagai klub (baca: perusahaan) yang akan mengikuti bursa. Tentunya, pemain yg pernah bermain di klub besar memiliki nilai transfer yg berbeda dengan pemain dari klub kecil atau gurem. Harus ada badan khusus yang menentukan klub tersebut main di Divisi Utama/Premiereship/Seri A dan sebagainya atau main di Divisi I/Seri B/Seri C/ atau seri J70 (itu HP ku SonyJ70 he..he..)
  2. Di sepak bola, para pemain bekerja di bawah PERJANJIAN KONTRAK. Jadi, memang bursa tersebut bisa untuk mendapatkan PEMAIN KONTRAK atau OUTSOURCING (baca buku Proses Bisnis Outsourcing, Dr. Richardus Eko Indrajit), tetapi agak sulit bagi PEMAIN TETAP, karena untuk pemain tetap, selain bermain, dia juga BISA MENJADI manager atau menjalankan rumah tangga klub (kalau di sepakbola, dia pemain sekaligus manajemen klub: MANA BISAAA....!!!)
  3. Setiap klub berusaha mendapatkan pemain yang BAGUS atau MINIMAL SETARA dengan pemain yang sudah dimilikinya. Nah, penilaian ini didasarkan pada KOMPETENSI pemain. Dia ada pada level berapa dalam bidang tersebut. Dalam Manajemen SDM Berbasis Kompetensi, komponen pokoknya adalah Pengetahuan(Knowledge), Perilaku (Attitude), & kemampuan (Skill). Jadi, sebenarnya bukan hanya pemain di bagian kreatif saja, tetapi bisa juga bagian marketing, sdm, atau yg lain ikut bursa (sesuai kompetensinya). Ini mungkin juga bisa digunakan untuk penilaian pemain dan sebagai referensi untuk membantu tim untuk menentukan harga pemain ybs.

(Gregorius bekerja di Humas PLN Menado, dulu Senior AE di Petakumpet)

Ayu wrote:

It means aturan transfer staf itu (kelak) berlaku untuk agency2 yang 'meratifikasi' peraturan itu aja kan? Terus kalo ada staf atau team yang mau pindahan (ditawarin) ke agency yang 'tidak' menjadi anggota asosiasi gimana? Masa staf mau melarikan diri... atau dari awal diikat pake surat perjanjian (ngeri juga ya...)? Tapi sebenernya apa sih yang bikin orang betah atau suka jadi kutu loncat? Kayaknya sih bisa dari pribadi orangnya sendiri, bisa juga dari kondisi perusahaannya. Gitu kaleee...

(Ayu adalah Sekretaris Direktur Pemasaran Harian Kedaulatan Rakyat, dulu AE di Petakumpet)

Fahroni wrote:

Menarik tenan idemu, mas arip. Dulu di Amerika (aku lupa baca dimana), pernah ada usulan semacam ini. Saat itu, ilmu periklanan bener-bener nggak merata. Cuma agency2 gede yang tau gimana caranya bikin iklan yang bener dan bagus. Akhirnya, masing-masing agency gede itu mengklaim bahwa temuan-temuan ilmu baru tentang periklanan diciptakan oleh mereka. Dan itu berlaku sampe sekarang. Ada yang namanya 360nya ogilvy, ada black diamond, fresh ideas-nya petakumpet.. dsb. Intinya sama semua! Nyari ide dengan cara yang out of the box.

Pada saat itulah banyak agency2 kecil yang merasa ditinggalkan oleh industri, karena ternyata lisensi atas temuan ilmu2 baru itu sangat eksklusif. Nggak pernah diajarkan apalagi dipublikasikan untuk umum. Mereka akhirnya membuat usulan baru yang memungkinkan setiap orang staf agency kecil saling share ilmu dengan cara magang resmi. Yakni magang antar perusahaan. Namun, bukan industri periklanan namanya kalo agency2 itu menjadi baik hati dengan membagikan pengetahuan dan tentu saja rahasia dapur mereka. Nggak ada satupun yang rela. Masing-masing malah semakin mati-matian mempertahankan egoismenya. Ini kapitalisme, man! Mungkin begitu teriak mereka. Ya sudah. Konsep itu nggak pernah berlangsung. Sampe sekarang. Yang justru tumbuh subur adalah konglomerasi dan afiliasi antar perusahaan.

Memang, akhirnya ilmu-ilmu langka itu menyebar luas. Tapi hanya untuk perusahaan yang berada dalam satu grup kepemilikan. Dan proses simpan-pinjam karyawan pun menjadi hal biasa diantara anggota grup itu. Sampe sekarang! Kalo temen2 pernah denger yang namanya WPP Group. Pasti nggak heran. Ya nggak Zen? huehehu. WPP adalah perusahaan multi industri asal Inggris, konsentrasi utamanya pada jual beli kapal tanker & eksplorasi minyak, semacam Bakrie Group kalo di Indonesia. Nah WPP itu juga memiliki divisi konglomerasi yang gila-gilaan gedenya. Periklanan! Ya... periklanan. Aneh to?

Nggak juga, karena ternyata Ogilvy, Grey, Wunderman, Asatsu, Dentsu Y&R (beda dengan Dentsu Inc), Landor, John Walter Thomson, Young & Rubicam dan Bates hanyalah sebagian kecil dari ratusan perusahaan iklan yang mereka miliki. Nah, relevansinya dengan konsepnya mas arip. Di WPP, ada aturan yang melarang staf dari perusahaan yang berada dalam grup WPP pindah kerja ke perush WPP lainnya. Kalo mau pindah, harus ada surat persetujuan dari "pengurus" regional mereka. Temenku mengalaminya. Heheh. Kecuali kalo nggak ketahuan. :D

WPP ini juga punya sistem pertukaran pelajar yang memungkinkan stafnya belajar di perush WPP lainnya. Kurang lebih mirip koyo konsepe mas arif, minus transfernya. Tapi yo kuwi, cuma untuk yang tergabung dalam WPP thok dan nggak pernah berlaku di Indonesia. Semoga konsepe mas arip ini nantinya disepakati oleh agency2 disini, paling ora agency lokal lah. Soale kalo multinasional, terlalu banyak hambatan dollar disana.

(Fahroni adalah Art Director di Astana International, dulu Graphic Designer di Petakumpet)

Zaini wrote:

Ck...ck...ck... pinter tenan kowe Ron! rakalap!:) Idenya keren Mas arif...

Tapi....mungkin insight dari kutu loncat berikut ini bisa memperkaya ide itu:) ada benernya kata greg dg segala teorinya (btw: greg, kowe kok adoh tenan to Le....apakah rumput di jawa sudah gak ijo lagi? :D) sistem transfer itu based on contract.

Padahal....periklanan itu paling gak nyaman dengan status kontrak. Dari creative side...kontrak itu penjara, komitmen...padahal selalu ada segudang alasan untuk bikin ngebet pindah, selain tentu saja karena pindah agency adalah cara tercepat meng'kuadrat'kan salary :)

Sementara buat agency...kontrak itu resiko (terutama di bagian kreatif), karena gak ada pemain cadangan di agency:) mending dia jadi kutu loncat drpd nunggu sampe kontrak abis. ini bukan masalah capable gaknya sdm, tapi lbh ke kecocokan: internal maupun eksternal (sdm cocok ama team-nya bukan berarti dia cocok sm klien, soalnya banyak jg kasus orang kreatif yg 'dipecat' sm klien). Btw, dunia perkutuloncatan menurutku adalah original sin-nya dunia periklanan selain lembur :)

(Zaini adalah Art Director di Ogilvy One, dulu General Manager Blank! Magazine)

Arief wrote:

To All Smart Guys ‘n Girls :)

Tenkiu untuk seluruh responnya yang saya serap baik-baik atas ide awal tentang mekanisme transfer staf atau manajer antar perusahaan kreatif. Saya copy semua reply yang masuk, saya jadiin satu file, saya baca berulang-ulang sambil bersyukur bisa berteman dengan manusia-manusia cerdas yang bikin dunia ini jadi tempat yang lebih baik. Saya belum selesai ngumpulin bahannya dari tempat lain, analisanya juga masih setengah-setengah.. Jadibelum bisa kasih comment atas ide yang telah masuk, yang sangat menarik dan inspired!

Tapi ada progress yang saya pengin cerita: Kamis kemarin saya ke Jakarta ikut rapat Steering Committee Kongres PPPI Pusat & Citra Pariwara. Agak lucu sebabnya, karena saya mewakili Mas Eri Kuncoro (Ketua PPPI Jogja) yang kena cacar air. Di forum itu dibahas agenda kongres di Surabaya.

Nah, saya udah sampaikan konsep singkat tentang itu kepada seluruh yang hadir: RTS Masli (Ketua PPPI), Aswan Soendojo (Sekjen PPPI), Yusca Ismail (PerwanalSaatchi ’n Saatchi), Goenadi Sugiharso (LOWE), RickiPesik, Koes Pudjianto (Markatama) Adnan Iskandar dan seluruh ketua Pengda yang hadir. Sambutan mereka sangat baik, very very welcome. (Sangat baik visualnya lho, saya belum tahu bener insight-nya). Saya gak GR bahwa ide itu bakal diterima nanti di kongres, prediksi saya butuh sekitar 5 tahunan untuk sampai diimplementasikan sebagai aturan dalam bisnis periklanan. Paling tidak, ide itu udah didengarkan oleh tokoh-tokoh periklanan Indonesia. That’s enough for the first.

Buat teman-teman, cita-cita saya dengan konsep ini adalah bahwa bukan hanya pengusaha atau perusahaannya aja yang akan untung tapi teman-teman kreatif (atau marketing atau departemen lainnya) juga bakal bisa lebih berkembang, lebih cerah masa depannya, lebih mampu berkiprah di worldwide. Akan indah jika dunia periklanan Indonesia diisi tokoh-tokoh yang setangguh dan sepopuler di dunia olahraga macam Michael Jordan, David Beckham, Robinho,Van Nistelrooy, Arjen Robben, Jose Mourinho, sebut deh siapa lagi.

Orang-orang profesional yang bisa menentukan gajinya sendiri, bahkan sering lebih tinggi ketimbang gaji manajernya. Tentu ada kontraknya (kata Pak Yusca, klausulnya bisa sampai puluhan lembar di perush. multinasional). Tapi kontrak ini wajar karena gajinya juga luar biasa.Sesuatu yang masih belum pas diterapkan di daerah karena salary-nya masih belum segede itu. Klub yang melatihnya pun rela melepas mereka ke klub yang lebih besar karena dapat fee yang cukup untuk mendapatkan gantinya.

In the end, every one’s happy. Isn’t that wonderful? (ini rahasia ya, saya setengah mati pengin agar mereka yang berprestasi di Petakumpet bisa dapat salary +bonus yang gak kalah ama Jakarta, seriously! Sehingga teman-teman yang terlanjur ke Jakarta bisa pindah semua kesini.. kaya raya dan menikmati ketentraman Jogja yang gak bisa digantikan Jakarta.

Sejujurnya, saya agak capek melihat perkembangan periklanan Indonesia yang mediocre. Kemarin saya lihat suasana penjurian Citra Pariwara2005. Entrinya hanya 800an karya, padahal tahun kemarin 1300 entri. Coba bandingkan dengan Pinasthika yang 758 entri (tahun kemarin 450an entri). Saya tidak merasa senang karena jumlah peserta Pinasthika udah makin dekat dengan Citra Pariwara, tapi justru sedih. Citra Pariwara itu wajah kita semua di mata dunia (keluh!)

(Arief adalah orang yang biasanya iseng nulis di blog ini)

-------------------------------------

Notes:

Konsep ini molor lama banget belum sempat saya follow up sejak Agustus 2005 lalu. Saya sedang mau me-refresh lagi dan bergerilya untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan yang tertunda termasuk pemikiran ini. Semoga ada diantara pembaca yang mau bantu, tentu saja demi membangun bisnis kreatif Indonesia yang lebih unggul. Makasih sebelumnya...

Comments

Popular posts from this blog

Kunci Sukses Bisnis (3)

Sempat terjadi dalam periode kehidupan saya saat awal-awal bersama teman-teman memulai Petakumpet, waktu 24 jam sehari rasanya tak cukup. Hari-hari itu begitu melelahkannya, rasanya tak kuat saya menyelesaikan begitu banyak tanggung jawab menyangkut komunitas, pekerjaan, kehidupan persoanl saya yang berantakan. Saya pun mengadu pada Allah,"Ya Allah, jika sehari bisa lebih dari 24 jam rasanya saya akan punya kesempatan lebih banyak untuk menyelesaikan semua tanggung jawab saya..." Tapi rasanya Allah tak mendengar doa saya. Atau saya nya yang tak punya kemampuan mendengarkan-Nya. Pekerjaan seperti nya mengalir tak habis-habis, ada duitnya emang, tapi duit nya pun mengalir lancar keluar tak pernah terpegang barang sebentar. Hidup saya begitu capeknya, badan pegel-pegel tiap malam, Sabtu Minggu pun dihajar pekerjaan. Saat-saat seperti itu, saya melihat buku karangan Stephen Covey The Seven Habits of Highly Effective People di Shopping Center (pusat buku murah) Jogja. Dengan

Jadual Diskusi dan Bedah Buku

Berikut beberapa jadual diskusi, talk show atau bedah buku yang udah masuk di Bulan Ramadhan (September) sekaligus menjawab beberapa imel yang menanyakan ke saya kapan ada diskusi buku Jualan Ide Segar: Bedah Buku Jualan Ide Segar (M. Arief Budiman) dan Mata Hati Iklan Indonesia (Sumbo Tinarbuko) di Diskomvis FSR ISI Yogyakarta. Kamis, 11 September 2008 jam 15.00 - 18.00 WIB. Juga menampilkan Sujud Dartanto sebagai pembahas. Untuk Mahasiswa ISI Jogja dan Umum (Free) Ngopi Bareng Penjual Ide Segar di Melting Pot, Sabtu, 13 September 2008, 20.00 - 22.00 WIB, Untuk Umum HTM Rp 15.000,- (Free 1 cup Coffee) Sarasehan Keajaiban Berbisnis Ide di ADVY (Akademi Desain Visi Yogyakarta), Senin, 15 September 2008, 09.00 - 12.00 WIB, untuk Mahasiswa ADVY (Free) Yang segera menyusul adalah Diskusi dan Bedah Buku di Jurusan Komunikasi UGM, semoga juga bisa terlaksana di Bulan September ini. Buat temen-temen silakan hadir untuk meramaikan proses belajar kreatif yang tentu saja sangat fun dan menyena

Filosofi Ember

Mengapa kita yang telah bekerja keras dari pagi buta sebelum subuh sampai lepas Isya' bahkan larut malam sampe rumah, tapi rezeki tetep seret? Mengapa kita telah membanting tulang sampai capek-capek pegal tapi ATM  tetap kosong dan tiap tengah bulan keuangan masih minus? Mengapa uang yang puluhan tahun kita kumpulkan sedikit demi sedikit tiba-tiba habis tandas didongkel maling saat kita pergi? Mengapa kita sakit-sakitan tak kunjung sembuh? Mengapa hidup ini makin lama makin sulit kita jalani dan rasa-rasanya kebahagiaan itu cuma milik orang lain dan bukan kita? Saya mengalami sendiri sulitnya mencari jawaban, saat pertanyaan di atas tak sekedar memenuhi kepala saya tapi menyatu dalam setiap tarikan nafas saya. Rasa bingung itu, capek itu, gelapnya perasaan saat membentur dinding yang tebal dan tinggi, sesak nafas saat masalah-masalah memuncak. Pencarian itu membawa saya pada sebuah benda: ember .  Ember? Kok? Bagaimana bisa ember menjawab persoalan seberat